KONDISI
MASYARAKAT INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN
DALAM
NOVEL JALAN TAK ADA UJUNG KARYA
MOCHTAR LUBIS
(KAJIAN
SOSIOLOGI SASTRA)
A.
Pendahuluan
Karya sastra akan lebih menarik jika dikaji
berlandaskan unsur ekstrinsik dari karya tersebut. Melalui unsur ekstrinsik
pengkajian dapat dilihat dari sosial sastra dan pengarang, budaya, ekonomi,
pendidikan, dan politik yang tumbuh dan berkembang sebagai suatu realitas pada
jaman sastra tersebut ditulis.
Karya sastra menurut sebagaian orang merupakan suatu
cerminan atau gambaran keadaan yang terjadi di masyarakat. Seorang pengarang membuat
karya sastra karena ia menangkap keadaan di masyarakat. Masyarakat dan
kehidupannya ini dijadikan suatu sumber data untuk penulisan karya sastra.
Bagaimana realita yang ada dalam masyarakat diangkat dan diceritakan dalam
sebuah karya sastra. Banyak karya sastra yang juga memberikan kritik keadaan di
masyarakatnya. Hal tersebut dilakukan agar dapat memberikan pencerahan juga
perbaikan mengenai keadaan di masyarakat.
Seperti
halnya novel Laskar Pelangi merupakan
kritik terhadap pendidikan di Indonesia. Bagaimana sosial kehidupan masyarakat
di daerah terpencil dan terluar yang sangat minim fasilitas dan kurangnya
perhatian dari pemerintah. setelah novel ini terbit dan menyedot perhatian
banyak orang. Pemerintah mulai memikirkan pendidikan di daerah terpencil
seperti Belitong setting novel Laskar
Pelangi.
Novel yang
lain seperti Ronggeng Dukuh Paruk
karya Achmat Tohari menangkap latar
belakang sosial pengarang yang berasal dari Banyumas (Jawa Tengah), tempat
kesenian ronggeng masih hidup dan masih berkembang sampai sekarang. Novel ini
menjelaskan realitas sosial yang terjadi pada masyarakatnya Banyumas tahun
1960an, yaitu kehidupan kelas ekonomi rendah atau hidup dengan kemiskinan.
Kemiskinan disini disebabkan karena kebodohan dan kemalasan mereka. Selain itu
mereka msih percaya terhadap tahayul dan kesenian ronggeng yang menjadi
kebanggaan masyarakat Banyumas.
Novel Jalan
Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis menggambarkan keadaan sosial masyarakat
Indonesia pada tahun 1946-1947. Masa ini adalah masa pasca proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Mochtar Lubis mencoba menangkap apa yang terjadi pada
masa itu. Indonesia masih kalang kabut membenahi sistem pemerintahannya. Apa
lagi semenjak kedatangan sekutu yang diikuti dengan Belanda atau NICA (Netherland
Indies Civil Administration), kondisi sosial budaya,
ekonomi, politik, dan pendidikan di Indonesia mendapatkan pengaruh yang serius.
Dalam makalah ini saya akan membahas empat hal tersebut sebagai potret keadaan
atau kondisi masyarakat Indonesia tahun 46-47an khususnya di daerah ibukota
Jakarta sebagai wilayah kekuasaan NICA.
B.
Teori
Sosiologi Sastra
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang objek
studinya merupakan ekspresi kehidupan manusia. Sedangkan sastra merupakan karya
seni yang merupakan ekspresi kehidupan manusia. Dengan demikian antara karya
sastra dan sosiologi sebenarnya merupakan dua bidang yang berbeda, tetapi
keduanya saling melengkapi.
Menurut Wiyatmi, (2006: 98) sebagai salah satu
pendekatan dalam kritik sastra, sosiologi sastra dapat mengacu pada cara
memahami dan menilai sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan
(sosial). Sesuai dengan namanya, sastra dipahami melalui perkawinan ilmu sastra
dengan ilmu sosial. Pengkajian sastra dengan pendekatan ini mengarahkan untuk
dapat menguasai ilmu sastra dan juga ilmu sosial masyarakat pada waktu itu.
Sastra tidak akan pernah lepas dari kehidupan
masyarakat, karena karya sastra merupakan pencerminan sosial masyarakatnya.
Kehidupan masyarakat pada saat karya sastra diciptakan dapat diketahui dari isi
cerita yang tertuang di dalam karya tersebut. Terutama kehidupan sosial akan
sangat berpengaruh pada penceritaan karya sastra.
Seperti halnya yang diungkapkan oleh Watt, (dalam
Wiyatmi, 2008: 20) sosiologi karya sastra mengkaji sastra sebagai cermin
masyarakat. Apa yang tersirat dalam karya sastra dianggap mencerminkan atau
menggambarkan kembali realitas yang terdapat dalam masyarakat. Pencerminan
sosial budaya melalui karya sastra dapat menjelaskan suatu situasi sosial dan
sejarah suatu wilayah dimana karya sastra itu lahir. Ditinjau dari karya sastra
itu sendiri, hal ini sepaham dengan pendapat Zerafta (dalam Elizabelt, 1973:
133) bahwa bentuk dan isi karya sastra sebenarnya memang lebih banyak diambil
dari fenomena sosial. Karenanya, karya sastra seringkali tampak terikat dengan
momen khusus dalam sejarah masyarakat.
Metode sosiologi sastra berdasarkan prinsip bahwa
karya sastra merupakan refleksi atau cermin masyarakat pada zaman karya sastra
itu ditulis. Sebagai anggota masyarakat, penulis tidak dapat melepaskan diri
dari lingkungan sosial budaya, politik, keamanam, ekonomi, dan alam yang
melingkupinya. Selain merupakan suatu pengalaman moral yang dituangkan oleh
pengarang melalui bahasa, sastra dalam kenyataannya menampilkan gambaran
kehidupan. Sedangkan kehidupan itu sendiri merupakan kenyataan sosial (Damono,
1978: 1)
Berkaitan dengan kondisi sosial dan potret sejarah
pada waktu itu, novel Jalan Tak Ada Ujung
menyuguhkan keadaan sosial yang merupakan cermin dari zamannya. Pasca
proklamasi merupakan setting waktu
yang ikut mempengaruhi kondisi sosial budaya, ekonomi, pendidikan, dan politik
masyarakat Indonesia pasca kemerdekaan dan kembalinya Belanda (NICA) ke
Indonesia.
C.
Sinopsis
Novel Jalan
Tak Ada Ujung menceritakan tokoh Isa yang bekerja sebagai Guru di Tanah
Abang. Guru Isa bersama dengan kawan-kawannya Hazil, Rakhmat dan masih banyak
lainnya ikut tergabung dalam laskar rakyat. Memperjuangkan rakyat Indonesia
untuk meraih kemerdekaan secara utuh, tanpa harus dibayangi oleh Belanda.
Karena pada saat pacsa kemerdekaan RI, tepatnya tahun 1946 sekutu datang
kembali ke Jakarta diboncengi oleh Belanda yaitu NICA.
Pada saat itu kerusuhan banyak terjadi di jalanan
Ibukota. Bahkan sampai ke Gang Jaksa. Guru Isa yang akan pergi mengajar ke
sekolah melewati Gang Jaksa terpaksa sembunyi menghindari kerusuhan tersebut.
Serdadu Belanda menembak tak tentu arah dan melakukan penggeledahan. Setelah
kerusuhan berakhir Guru Isa melanjutkan perjalanannya ke sekolah. Tetapi
sekolah sepi, banyak siswa yang tidak datang akibat perperangan pagi itu.
Sekolah dibubarkan karena banyak yang tidak datang.
Namun Guru Isa masih tinggal di sekolah untuk mengoreksi pekerjaan siswa
kemarin. Selesai mengoreksi Guru Isa menyimpan buku pekerjaan siswa ke almari.
Ia melihat tumpukan buku baru dan berniat mencurinya untuk dijual kepada
pedagang Tionghoa. Ia mengambil sepuluh buku itu, lalu segera memasukkan ke
tasnya. Uang hasil menjual buku ia berikan kepada Fatimah istrinya, untuk
membeli beras. Pencurian itu sering ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan
makannya.
Guru Isa mengikuti sebuah revolusi dengan ikut
bergabung dengan laskar rakyat. Ia bekerja sebagai bendahara pemegang dana
perjuangan yang jumlahnya sangat besar. Hal ini membebani Guru Isa. Ia takut
akan mendapatkan bahaya besar.
Pergerakan revolusinya diarahkan untuk penyerangan
Belanda di luar kota Jakarta. Mereka tidak berani menyerang di Jakarta, karena
pendudukan Belanda di Jakarta sangat kuat. Sehingga mereka mengusung
senjata-senjata dan menyelundupkannya ke Karawang.
Puncak perjuangan Guru Isa yaitu pada saat penyerangan
di Bioskop Rex. Guru Isa memantau penyerangan. Sementara Hazil dan Rakhmat
melancarkan serangan dengan melemparkan geranat tangan ke tengah-tengah
keramaian bioskop, saat serdadu-serdadu Belanda keluar berjubel dari pintu
bioskop. Mereka berhasil melarikan diri, dan pulang kerumah masing-masing. Lama
mereka tidak saling memberi kabar. Banyak orange yang memuji keberanian
pemboman di bioskop Rex.
Suatu hari Guru Isa membaca surat kabar. Disana
tertulis bahwa salah satu dari pelaku pelemparan bom berhasil ditangkap. Guru
Isa sangat cemas dan merasa ketakutan. Setelah itu Guru Isa menyusul ditangkap
dan dipenjara bersama Hazil. Penjara itu memberikan kepada Guru Isa pelajaran
yang sangat berharga. Ia dapat menyikapi rasa takutnya dan jiwa
kelaki-lakiannya muncul kembali.
D.
Pembahasan
1.
Kondisi
Ekonomi Masyarakat dalam Novel Jalan Tak
Ada Ujung
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia diumumkan,
Belanda berusaha menjatuhkan Indonesia dengan jalan blokade ekonomi. Cara ini
ditempuh Belanda dengan menutup akses impor ekspor. Akibatnya pasokan kebutuhan
Indonesia menjadi tidak lancar. Keadaan ekonomi yang carut marut digambarkan
pula dalam novel Jalan Tak Ada Ujung
sesuai dengan kondisi nyata masyarakat pada waktu itu. Kekurangan akan
kebutuhan pokok mengakibatkan barang susah di dapat dan mengalami lonjakan
harga yang tinggi. Seperti halnya beras sebagai bahan makanan pokok penduduk
Indonesia yang susah di dapat, sehingga harganya pun menjadi lebih mahal dari
biasanya.
“Kasih saya
beras dua liter,” katanya pada anak Baba Tan yang menjaga warung. Anak itu
membungkus beras dua liter dan diletakkannya di atas meja di depan perempuan
itu.
“Enam rupiah!”
“Ah, naik lagi.
Kemaren dulu juga seringgit,” bantah perempuan itu.
“Beras susah
masuk sekarang,” anak itu membela harganya. (Lubis, 2010: 5)
Hal ini lebih dikuatkan oleh pernyataan seorang
saudagar beras yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan pasokan beras. Bahkan
satu karung beras pun tidak sampai padanya.
“Selamat pagi,
Tuan Hamidy,” katanya membalas tersenyum ramah, dan dia berhenti, “bagaimana
beras dari Karawang?” tanyanya. Ke dalam kepala Guru Isa masuk suatu pikiran.
“Minggu ini
tidak sekarung yang bisa masuk. Semuanya ditahan….” (Lubis, 2010: 66)
Kelangkaan barang dalam suatu wilayah menyebabkan
harga yang tak terkendali. Akibatnya penduduk kecil tidak mampu membeli beras
untuk sekedar mengisi perutnya. Mereka mengharapkan hutangan beras agar dapat
makan barang satu hari saja.
“Saya ngutang
saja,” sahut perempuan itu, dan tangannya menjangkau bungkusan beras.
“Tidak boleh bon
lagi sekarang,” kata Baba Tan dari pintu warung. Dia telah lama berdiri di sana
mendengarkan.
“Tapi saya
langganan lama.”
“Ya, tapi
sekarang semua susah, saya juga banyak yang susah,” kata Baba Tan. “Tidak bisa
kasih utang. Tidak bisa.”
Perempuan itu
menarik tangannya kembali dari bungkusan besar dan berdiri diam. Ke mana aku
harus pinjam uang, pikirnya. (Lubis, 2010: 5)
Kondisi perekonomian Indonesia pada saat itu cukup
perpuruk dengan terjadinya inflasi. Keadaan khas Negara dan pajak nihil apalagi
pemerintah tidak dapat mengontrol mata uang asing yang beredar di Indonesia,
sehingga banyak beredar mata uang Jepang dan Belanda. Hal ini mempersulit
keadaan rakyat. Seperti dalam novel Jalan
Tak Ada Ujung, Guru Isa sebagai seorang penduduk sipil yang mempunyai
pekerjaan tetap sebagai seorang guru masih saja mengalami kekurangan. “Sedang menggesek biola pikirannya melayang.
Terkenang pada istrinya, dompetnya yang kosong, beras yang mesti di beli.” (Lubis,
2010: 26) Guru Isa yang telah punya penghasilan tetap saja juga mengalami
kesulitan ekonomi. Ia tidak punya uang sepeserpun untuk mengisi dompetnya.
Sedangkan beras di rumahnya juga telah habis. Keperluan makan setiap harinya
harus ia tambal dengan mencari hutang. Makan seadanya, yang penting dapat
mengisi perut dan mencegah rasa lapar.
Waktu makan
kegembiraannya menjadi kurang. Di meja hanya tersedia kopi pahit yang tidak ada
gulanya. Dan beberapa potong rebusan singkong yang dipanaskan kembali. Bekas
kemarin malam.
“Kalau hari ini
engkau tidak dapat uang, aku tidak tahu lagi kemana harus menghutang beras,”
kata Fatimah padanya, menuangkan kopi untuknya. “Gula pun telah habis. Kepada
Bibi Tatang aku telah menghutang beras lima liter. Belum juga aku ganti sudah
seminggu. Sedang aku berjanji mengembalikannya dalam dua hari. Mambon di warung
susah benar sekarang. Hutang pada tukang sayur telah lama aku tidak bayar.”
(Lubis, 2010: 65)
Apalagi ditambah dengan keadaan perekonomian
pemerintah yang defisit, memperburuk perekonomian rakyat. Pemerintah harus
menghutang kepada Amerika pada saat itu. Dampak ini dirasakan juga oleh pegawai
negeri seperti Guru Isa. Gaji dari pemerintah tidak teratur dibayar tiap
bulannya.
Guru Isa diam
saja. Dia minum kopi pahit panas ituyang membakar lidah dan kerongkongannya dan
memanaskan perutnya. Dia tidak salahkan Fatimah. Gajinya sudah tidak cukup
untuk makan mereka. Apalagi sekarang, ketika mereka menerima gaji sudah tidak
teratur, dan kadang-kadang hanya menerima apa yang dinamakan “bantuan” saja.
(Lubis, 2010: 65-66)
Pemerintah pada saat itu sampai tidak mampu membayar
gaji pegawai negeri yang seharusnya mereka dapatkan setiap bulan. Kesejahteraan
rakyat kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Sehingga untuk memenuhi
kebutuhan pokok, rakyat kerap melakukan tidakan yang melanggar norma seperti
penjarahan, perampokan, dan pencurian. Seperti halnya Guru Isa, kesulitan
ekonomi yang ia hadapai memaksanya untuk mencuri. Padahal sebenarnya ia orang
baik-baik, tidak kenal kekerasan apa lagi sampai menyalahi norma dengan mencuri.
Tapi apa daya untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Tindakan ini ia
lakukan, walau terselip rasa malu di hati nuraninya.
Guru Isa berdiri
dan pergi ke lemari menyimpan buku-buku yang telah diperiksanya. Ketika dia
hendak menutup lemari kembali, tiba-tiba pandangannya terpaut pada bungkusan
buku-buku tulis yang baru….Sesuatu berkata, bahwa dengan mengambil dan menjual
beberapa puluh buku itu dia akan dapat uang.
Guru Isa
tertegun. Perkelahian terjadi dalam hatinya. Tiba-tiba dia merasa malu pada dirinya,
bahwa pikirannya sendiri menyuruh ia mencuri.
“Aku juga telah
jatuh begitu rendah, mencuri dari sekolahku sendiri,” pikir Guru Isa amat pahit
dan amat malu.
“Ambillah barang
sepuluh atau lima belas, tidak ada orang yang akan tahu.” pikirannya menyuruh
mencuri.
“Dijual sebentar
laku di toko Tionghoa di Pasar Tanah Abang itu. Dapat terjuang tujuh rupiah
setengah sebuah. Sepuluh dapat uang tujuh puluh lima rupiah. Lumayan.”
Mulutnya rasanya
kering. Dan dengan tangan tangan yang gemetar Guru Isa membuku bungkusan
buku-buku tulis baru itu, diambilnya sepuluh, dan kemudian lemari ditutup
kembali. Buku tulis yang baru itu cepat-cepat dan tergesa-gesa dimasukkannya ke
dalam tasnya. Baru setelah tas dikuncinya, dia merasa lega sedikit. (Lubis,
2010: 68-69)
Guru Isa terpaksa mencuri buku di sekolahnya. Ia
menjual buku tersebut, sedangkan uangnya untuk makan. Begitu memprihatinkan
perekonomian saat itu. Sampai Guru Isa tidak hanya sekali saja mencuri. Saat
persediaan makan di rumahnya habis, Guru Isa mencuri lagi. Setelah sekolah kosong, maka Guru Isa membuka lemari, dan mengambil 20
buah kitab tulis baru, memasukkannya ke dalam tasnya.(Lubis, 2010: 108).
Kebutuhan makan sudah terpenuhi saja, sudah sangat
bersyukur. Sedangkan keperluan yang lain dikesampingkan. Guru Isa hidup
seadanya, yang ia pikirkan adalah keperluan makannya untuk sekarang dan hari
esok. Ia tidak pernah memperhatikan pakaian yang ia pakai. Pakaiannya seadanya,
karena tidak ada dana untuk keperluan selain makan. Diambilnya baju piyama dari gantungan. Baju piyama yang sudah using dan
warna strip-stripnya telah pucat. Dibukanya celana pantalonnya. Dia duduk
ditempat tidur. Membuka sepatunya. Telah lama dia tidak punya kaos kaki lagi (Lubis,
2010: 109) Bahkan guru Isa rela tidak membeli kaos kaki. Padahal telah lama
ia tidak mempunyai kaos kaki.
Defisitnya perekonomian sangat mempengaruhi
kesejahteraan masyarakat. Mereka hidup seadanya dengan serba kekurangan. Hal
ini diperparah dengan adanya serangan atau perang yang dilancarkan sekutu dan
NICA. Saat itu Indonesia sampai merugi dua ratus juta. Jumlah yang sangat besar
pada waktu itu.
2.
Kondisi
Sosial Budaya dalam Novel Jalan Tak Ada
Ujung
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang
peduli terhadap kehidupan sosial. Walau dalam posisi kerusuhan, peperangan, dan
ketidakstabilan keamanan, tidak meruntuhkan rasa sosial masyarakat. Selain itu
masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang ramah. Budaya tegur sapa
masih melekat pada saat itu. Begitu juga dengan rasa tolong menolong dan gotong
royong. Masyarakat selalu mengusahakan untuk dapat menolong orang lain.
“Kami bermaksud
mau pinjam truk Tuan Hamidy sebentar sore,” kata Guru Isa. Dia ingat bunyi
surat Hazil yang menyuruhnya carikan kendaraan sedapat-dapatnya kalau bisa.
“Untuk
perjuangan membawa… Tuan maklum,” kata Guru Isa.
“Gampang,
gampang. Pukul berapa perlu nanti saya sediakan,” kata Tuan Hamidy. “Dalam
perjuangan kita mesti bantu-membantu, bukan? Kalau beras lepas, saya juga mau
sumbangkan sekarung dua untuk badan perjuangan kita,” katanya. (Lubis, 2010: 67)
Tolong menolong merupakan suatu hal yang sudah
membudaya. Kepedulian masyarakat dalam hal menolong orang lain tidak diragukan
lagi. Rasa gotong royong juga tumbuh sebagai bentuk kepedulian sosial. Saat ada
orang yang membutuhkan pertolongan. Dengan segera orang-orang berkerubung untuk
menolongnya.
“Memang
penyakitnya starternya suka macet.”
Anak-anak yang
bermain-main memanjat truk itu sekarang berteriak-teriak, “Dorong, dorong
saja!”
Akhirnya truk
itu didorong. Tukang-tukang jahit keluar meninggalkan pekerjaan mereka, dan
membantu mendorong. Dua orang tukang beca yang sedang ngopi berdiri dan ikut
pula mendorong. Penjual pisang goreng dan
air kopi ikut pula. (Lubis, 2010: 77)
Kehidupan gotong royong merupakan cerminan sosial
budaya masyarakat Indonesia. Orang-orang merelakan waktu dan kesibukannya untuk
pergi menolong. Beberapa kali truk mogok, walau ditempat yang berbeda, tetap
saja masih banyak orang yang rela menolong. Mobil
mereka mogok kembali dekat Pencenongan. Tetapi mudah mereka mendapat
tertolongan. Semua orang yang lewat ikut mendorong. Dan kemudian mereka tiba di
depan pabrik limun. (Lubis, 2010: 78-79) Selain itu, kondisi seperti ini
dapat pula kita lihat pada kutipan berikut ini:
Starter truk
kembali macet. Hingga orang-orang yang lainterpaksa keluar rumah kembali
membantu mendorong. Dari rumah-rumah lain orang keluar pula melihat truk itu
harus didorong. Mereka ikut mendorong.
“Bagaimana juga
saya mesti bilang bangsa kita paling bagus semangat gotong royongnya,” teriak sopir
Dullah ketika mesin telah hidup, dan truk melancar pulang. “Dimana-mana mudah
sekali dapat pertolongan.” (Lubis, 2010: 87)
Selain rasa tolong menolong dan gotong royong,
masyarakat Indonesia terkenal sebagai bangsa yang ramah dan suka bertegur sapa.
Namun karena keinginan atau harapan masyarakat yang ingin merdeka sepenuhnya
tanpa campur tangan bangsa lain. Salam yang sering disampaikan saat mereka
bertegur sapa adalah salam merdeka.
…. Kemudian
Hazil berhenti di depan sebuah gubuk, masuk ke dalam dan mengetuk pintu.
“Merdeka!
Rakhmat, truk sudah ada di jalanan!” teriaknya dari luar.
Pintu dibukanya
berlahan-lahan, dan sebuah hidung, sebelah mata, sejemput kening dan rambut
melihat mereka dari balik pintu.
Ketika mata itu
mengenali Hazil pintu dibukakan lebar-lebar, dan orang yang membukakan pintu
itu berkata, “Merdeka, Bung! Engkau? (Lubis, 2010: 79)
Jadi setiap bertemu dengan orang pribumi, maka kata
salam yang diucapkan adalah “Merdeka!” Memang saat itu Negara Indonesia telah
merdeka karena telah mengumumkan kemerdekaannya melalui proklamasi 1945.
Sedangkan setting waktu dalam novel Jalan Tak Ada Ujung ini adalah tahun
1946. Namun kemerdekaan ini masih dibayang-bayangi oleh kembalinya sekutu yang
diboncengi NICA ke tanah air.
3.
Kondisi
Politik dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung
Kedatangan kembali sekutu yang
diboncengi oleh Belanda atau NICA (Netherland
Indies Civil Administration) membuat pemerintahan Indonesia pada waktu itu
dalam kondisi yang sulit. Sekutu bermaksud menyerahkan kembali daerah kependudukan
Jepang kepada Belanda. Belanda menginginkan Indonesia sebagai daerah
persemahmurannya. Berikut rekapan peristiwa yang terangkum dalam http://www.wikipedia.com.
Pada masa ini Indonesia harus berusaha
mempertahankan kemerdekaannya. Berbagai upaya diusahakan untuk dapat mengusir
kependudukan Belanda, sehingga Indonesia dapat menjadi negara yang utuh merdeka
tanpa ada campur tangan bangsa lain. Pada novel Jalan Tak Ada Ujung diceritakan perjuangan politik generasi muda
mempertahankan kemerdekaan yang telah berhasil di raihnya. Tokoh Guru Isa ikut
andil dalam perjuangan tersebut. Ia bergabung dalam organisasi perjuangan
laskar rakyat. Guru Isa mengikuti revolusi dan menjadi bagian dari BKR (Badan
Keamanan Rakyat). Pada masa itu BKR adalah badan resmi yang di bentuk oleh
pemerintah untuk menjaga keamanan rakyat.
Sebagai kebanyakan orang dihari-hari
pertama revolusi itu, Guru Isa belum menganalisa benar-benar kedudukannya,
kewajibannya dan pekerjaannya dalam revolusi. Selama ini ia membiarkan dirinya
dibawa arus. Arus semangat rakyat banyak. Arus pikiran-pikiran dan kata-kata
yang deras keluar dari macam-macam orang. Dia ikut jadi anggota jaga kampung.
Malahan karena kedudukannya sebagai guru, maka ia menjadi wakil ketua panitia
keamanan rakyat di kampungnya, dan menjadi penasihat Badan Keamanan Rakyat,
lebih terkenal dengan nama BKR. (Lubis, 2010: 27)
Sebagai bagian dari bentuk perjuangan
Guru Isa dan kawannya Hazil dan Rakhmat akan menjalankan suatu rencana besar.
Ia bermaksud menyelundupkan senjata untuk perjuangannya. Pembawaan senjata pada
saat itu adalah misi yang sangat berbahaya. Jika sampai ketahuan oleh tentara
Belanda, mereka semua bisa dipenjara bahkan disiksa dan dibunuh.
“Ini bisa berbahaya,”
kata Hazil, “kita pergi mengambil senjata dan membawanya ke Manggarai. Di sana
kita sembunyikan dan kemudian akan diselundupkan ke Karawang.” (Lubis, 2010: 78)
Penyelundupan senjata tersebut bermaksud
untuk persediaan di luar kota. Karena di Jakarta pendudukan Belanda sangat kuat.
Sehingga kaum revolusionis seperti Guru Isa dan Hazil mengambil langkah politik
untuk menyerang dari kota lain yang tidak terlalu kuat pertahanan tentara
Belandanya. “Kalau mau perang juga bukan
di Jakarta lagi,” kata Hazil. “Di sini kita tidak bisa perang. Musuh terlalu
kuat. Karena itu sekarang kita bikin persediaan di luar kota. Sebab itu
senjata-senjata mesti dikirim ke luar kota.” (Lubis, 2010: 78)
Perjuangan mereka sudah setengah jalan.
Persenjataan sudah banyak yang berhasil diangkut ke luar kota. Namun Belanda membentuk
arus politik lain yaitu dengan mengadakan perjanjian Linggarjati. Perjanjian
ini digunakan untuk memecah halangan yang muncul dari rakyat. Mereka menipu
rakyat dengan iming-iming perdamaian. Rakyat merasa damai setelah penandatanganan
perjanjian Linggarjati. Rakyat berharap dengan adanya perjanjian tersebut
kondisi Indonesia tidak kacau lagi dan dapat hidup damai.
“Bukankah
persetujuan Linggarjati sudah ditandatangani. Masa kita msih terus berperang?
Bukankah kita disuruh berdamai?” …. Ketika perjanjian Linggarjati
ditandatangani dengan upacara yang hebat tanggal 25 Maret yang lalu, maka
sebentar Guru Isa mengecap sejuk udara kebebasan. (Lubis, 2010: 106)
Padahal perjanjian Linggarjati sebenarnya
digunakan oleh Belanda untuk menipu dunia Internasional. “Linggarjati dipakai Belanda hanya untuk menipu dunia internasional
saja. Kita mesti lekas bersiap-siap.” Hazil memukul-mukul meja dengan tangannya.
(Lubis, 2010: 107)
Hazil tidak pernah lengah pada misi
perjuangannya. Perjanjian Linggarjati tidak begitu saja meruntuhkan semangat
perjuangannya membebaskan Indonesia dari Belanda.
“Usaha kita
harus dilipatgandakan sekarang,” kata Hazil padanya beberapa hari setelah
persetujuan itu ditandatangani. Dia baru kembali ke Jakarta dari Karawang
setelah persetujuan itu ditandatangani.
“Engkau jangan
lupa Mojokerto yang diserbu Belanda beberapa hari sebelum perjanjian itu
ditandangani,” kata Hazil ketika Guru Isa membantah dan mengatakan bahwa sekali
ini tentu perdamaian akan tiba. (Lubis, 2010: 106)
Puncak
perjuangan mereka adalah pada saat Guru Isa, Rakhmat, dan Hazil melancarkan
penyerangan kepada tentara Belanda di Bioskop Rex. Mereka membawa bom tangan
yang rencananya akan dilemparkan pada tentara Belanda saat keluar dari Bioskop.
Mereka akan melemparkan granat tangan itu
bersama-sama, dan kemudian lari. Melemparkan granat ketengah-tengah
serdadu-serdadu Belanda yang mendesak-desak keluar dari bioskop. (Lubis, 2010: 129)
Perjuangan
mereka mengusir Belanda sangatlah gigih. Mereka benar-benar melancarkan aksinya
walau perjanjian Linggarjati sudah ditandatangani dan sudah membuai rakyat
dengan perdamaian dan tidak adanya peperangan kembali.
4.
Kondisi
Pendidikan dalam Novel Jalan Tak Ada
Ujung
Pemerintak sejak awal telah mencanangkan tujuan
bangsa dalam bidang pendidikan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Landasan
ini menjadi misi utama untuk menitikberatkan pembangunan di bidang pendidikan.
Pencetus pendidikan itu sendiri adalah Ki Hajar Dewantara yang menjadi Bapak
pendidikan sekaligus menjabat sebagai menteri pendidikan pada masa pasca
kemerdekaan RI 1945.
Pemerintah dan masyarakat mulai sadar bahwa
pendidikan sangat penting peranannya untuk kemajuan suatu bangsa. Sekolah
diharapkan dapat memperkaya potensi rakyat. Pasca proklamasi sekolah dibuka
untuk semua warga Negara tanpa kecuali. Pemerintah membentuk peraturan
kewajiban belajar. Anak-anak yang telah berusia sepuluh tahun diwajibkan untuk
memasuki sekolah.
Namun kekacauan yang terjadi saat kependudukan
Belanda di Indonesia tahun 1946 berpengaruh dalam bidang pendidikan. Novel Jalan Tak Ada Ujung memaparkan kondisi
pendidikan saat itu. Kondisi belajar yang tidak nyaman, saat kekacauan terjadi.
Ketika terjadi penggeledahan dan perang akan mempengaruhi banyaknya siswa yang
datang ke sekolah. Kelas menjadi tidak penuh, karena banyak siswa yang tidak
berangkat.
Tokoh utama dalam novel Jalan Tak Ada Ujung yaitu Isa, dalam novel dijelaskan bahwa tokoh
Isa peduli terhadap pendidikan. Hal ini terbukti dari profesi yang Isa pilih
adalah menjadi seorang guru. “Lima menit
mereka berjongkok berdekat-dekatan demikian. Jalan masih sepi juga. Isa merasa,
bahwa dia perlu memperkenalkan dirinya. Dia berpaling kepada tuan rumah, dan
berkata dengan tersenyum sedikit, “Nama saya Isa, guru sekolah di Tanah Abang.”
(Lubis, 2010: 9)
Guru Isa mendapatkan pendidikannya dengan baik
hingga ia bisa sekolah sampai HIK. “Dia
ingat, ketika dia naik kelas enam sekolah HIS. Dia ingat, ketika melanjutkan ke
HIK. (Lubis, 2010:154) Jaman dahulu sebenarnya pendidikan sudah menjadi
suatu hal yang penting. Asal mau berusaha dan sadar akan pendidikan pasti dapat
bersekolah ke jenjang yang tinggi. Tahun 1946 pendidikan tingkat HIK sudah
merupakan pendidikan dengan tingkatan yang tinggi.
Walau saat itu, setelah kemerdekaan diproklamasikan
tetap saja Indonesia mengalami kekacauan karena kedatangan NICA. Namun semangat
Guru Isa dalam mengabdikan dirinya untuk pendidikan Indonesia tidak pernah
surut. Guru Isa sangat peduli terhadap pendidikan. Ia selalu berangkat mengajar
ke sekolah walaupun kondisi di luar sedang genting. Demi berangkat ke sekolah
ia rela menembus kerusuhan yang terjadi di Gang Jaksa. “Ketika tembakan pertama di Gang Jaksa itu memecah kesunyian pagi Guru
Isa sedang berjalan kaki menuju sekolahnya di Tanah Abang.”( Lubis, 2010:8)
Kerusuhan tidak membunuh niat Guru Isa. Ia tetap berangkat ke sekolah walaupun
sekolah sepi karena tidak banyak siswa yang datang.
“Ketika dia tiba
di sekolah, dilihatnya anak-anak sekolah tidak banyak yang datang. Dua orang
guru yang telah datang ketika ia tiba, bersiap-siap hendak pulang kembali.
“Mengapa
pulang?” tanya Isa
“Ah, kelas kami cuma
lima orang yang datang. Maklum ada pertempuran.” (Lubis, 2010:17)
Begitulah kondisi pendidikan pasca proklamasi
kemerdekaan oleh Soekarno tanggal 17 Agustus 1945. Indonesia tidak lantas damai
dan aman tanpa campur tangan dari bangsa lain. Kedatangan Belanda ke Indonesia
kembali memberikan dampak buruk pada keadaan Indonesia. Walau Indonesia telah
merdeka tetapi masih sering ada pertempuran antara serdadu Belanda dengan
rakyat.
Semangat dan pengorbanan seorang guru pada masa itu
sangatlah besar. Di tengah kerusuhan dan keadaan yang tidak memungkinkan tokoh
Guru Isa selalu mengutamakan profesinya sebagai seorang guru untuk datang dan
mengajar di sekolahnya. Meskipun dalam keadaan sakit Guru Isa juga tetapi
memaksakan diri untuk datang ke sekolah. “….,
meskipun badannya masih agak lemah. Tetapi Guru Isa berkeras hendak mengajar
kembali.” (Lubis, 2010: 117)
Pendidikan pada saat itu sudah mulai dikenal oleh
rakyat banyak. Rakyat tidak memperoleh tekanan dalam mengenyam dunia
pendidikan. Karena pada saat itu Indonesia telah bisa melepaskan diri dari
penjajahan dan telah mulai menikmati kemerdekaannya. Termasuk juga merdeka
dalam memperoleh pendidikan yang layak.
E.
Simpulan
Karya sastra merupakan potret dan cerminan
masyarakat pada jamannya. Sehingga dapat dikatakan karya sastra lahir sebagai
produk kehidupan masyarakat. Pencipta karya sastra itu sendiri juga bagian dari
masyarakat, oleh karena itu karya sastra tidak dapat lepas dari kehidupan
masyarakat.
Novel Jalan
Tak Ada Ujung mengangkat kehidupan masyarakat Indonesia khususnya Jakarta
pada masa pasca proklamasi kemerdekaan RI. Pada tahun 1946 kehidupan masyarakat
Indonesian sangat terpuruk terutama dibidang politik dan ekonomi. Indonesia
pada saat itu mengalami keadaan perekonomian yang defisit sehingga rakyat hidup
kekurangan. Arah politik masih kacau, banyak orang belum paham dan mengerti
bagaimana menjalankan roda politik pada saat itu. Ditambah lagi pendudukan
Belanda yang memperburuk keadaan. Namun dalam bidang pendidikan, selama dijajah
Indonesia telah sadar akan pentingnya pendidikan. Pemerintah mencanangkan
program wajib pendidikan setelah anak berusia sepuluh tahun. Sosial budaya
masyarakat pada waktu itu sangat mencerminkan kehidupan masyarakat Indonesia
yang gotong royong, saling membantu tanpa pamrih, dan ramah (budaya tegur sapa
dan mengucapkan salam saat bertemu dengan orang lain).
Pengkajian novel Jalan
Tak Ada Ujung diharapkan dapat memberikan suatu pengetahuan kepada masyarakat dalam
melihat dan mengetahui keadaaan yang sebenarnya dialami masyarakat Indonesia
pasca proklamasi kemerdekaan RI. Berdasarkan hal tersebut, pembaca dapat
mengambil pelajaran dalam pengkajian novel sebagai sebuah renungan akan
kehidupan sosial masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Damono,
Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
Elizabeth, Tom Burn. 1973. Sociology of Literature & Drama.
Harmondsworth: Penguin Books.
Lubis, Mochtar. 2010. Jalan Tak Ada Ujung. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
Randy.
Kehidupan Politik Ekonomi dan Sosial
Budaya Bangsa Indonesia Pasca Kemerdekaan 1945-1950. Sumber: http://randy4u.wordpress.com. Diunduh
Tanggal 18 Juni 2012.
Rushdy
Hoesein. Terobosan Sukarno dalam
Perundingan Linggarjati. Sumber: http://books.google.co.id.
Diunduh Tanggal 18 Juni 2012.
Suroso. Puji Santosa. Pardi Suratno.
2008. Kritik Sastra (Teori, Metodologi,
dan Aplikasi). Yogyakarta: Elmatera.
Wikipedia,
ensiklopedia bebas. Sejarah Indonesia
(1945-1949). Sumber: http://www.wikipedia.com.
Diunduh Tanggal 18 Juni 2012.
Wiyatmi.
2006. Pengantar Kajian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka.
_______.
2008. Sosiologi Sastra (Teori dan Kajian
terhadap Novel Indonesia). Yogyakarta: Kanwa Publisher.