Rabu, 18 Juli 2012

sosioanalisis jalan tak ada ujung

KONDISI MASYARAKAT INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN 
DALAM NOVEL JALAN TAK ADA UJUNG KARYA MOCHTAR LUBIS
(KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA)


A.    Pendahuluan
Karya sastra akan lebih menarik jika dikaji berlandaskan unsur ekstrinsik dari karya tersebut. Melalui unsur ekstrinsik pengkajian dapat dilihat dari sosial sastra dan pengarang, budaya, ekonomi, pendidikan, dan politik yang tumbuh dan berkembang sebagai suatu realitas pada jaman sastra tersebut ditulis.
Karya sastra menurut sebagaian orang merupakan suatu cerminan atau gambaran keadaan yang terjadi di masyarakat. Seorang pengarang membuat karya sastra karena ia menangkap keadaan di masyarakat. Masyarakat dan kehidupannya ini dijadikan suatu sumber data untuk penulisan karya sastra. Bagaimana realita yang ada dalam masyarakat diangkat dan diceritakan dalam sebuah karya sastra. Banyak karya sastra yang juga memberikan kritik keadaan di masyarakatnya. Hal tersebut dilakukan agar dapat memberikan pencerahan juga perbaikan mengenai keadaan di masyarakat.
Seperti halnya novel Laskar Pelangi merupakan kritik terhadap pendidikan di Indonesia. Bagaimana sosial kehidupan masyarakat di daerah terpencil dan terluar yang sangat minim fasilitas dan kurangnya perhatian dari pemerintah. setelah novel ini terbit dan menyedot perhatian banyak orang. Pemerintah mulai memikirkan pendidikan di daerah terpencil seperti Belitong setting novel Laskar Pelangi.
Novel yang lain seperti Ronggeng Dukuh Paruk karya Achmat Tohari  menangkap latar belakang sosial pengarang yang berasal dari Banyumas (Jawa Tengah), tempat kesenian ronggeng masih hidup dan masih berkembang sampai sekarang. Novel ini menjelaskan realitas sosial yang terjadi pada masyarakatnya Banyumas tahun 1960an, yaitu kehidupan kelas ekonomi rendah atau hidup dengan kemiskinan. Kemiskinan disini disebabkan karena kebodohan dan kemalasan mereka. Selain itu mereka msih percaya terhadap tahayul dan kesenian ronggeng yang menjadi kebanggaan masyarakat Banyumas.
 Novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis menggambarkan keadaan sosial masyarakat Indonesia pada tahun 1946-1947. Masa ini adalah masa pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia. Mochtar Lubis mencoba menangkap apa yang terjadi pada masa itu. Indonesia masih kalang kabut membenahi sistem pemerintahannya. Apa lagi semenjak kedatangan sekutu yang diikuti dengan Belanda atau NICA (Netherland Indies Civil Administration), kondisi sosial budaya, ekonomi, politik, dan pendidikan di Indonesia mendapatkan pengaruh yang serius. Dalam makalah ini saya akan membahas empat hal tersebut sebagai potret keadaan atau kondisi masyarakat Indonesia tahun 46-47an khususnya di daerah ibukota Jakarta sebagai wilayah kekuasaan NICA.

B.     Teori Sosiologi Sastra
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang objek studinya merupakan ekspresi kehidupan manusia. Sedangkan sastra merupakan karya seni yang merupakan ekspresi kehidupan manusia. Dengan demikian antara karya sastra dan sosiologi sebenarnya merupakan dua bidang yang berbeda, tetapi keduanya saling melengkapi.
Menurut Wiyatmi, (2006: 98) sebagai salah satu pendekatan dalam kritik sastra, sosiologi sastra dapat mengacu pada cara memahami dan menilai sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial). Sesuai dengan namanya, sastra dipahami melalui perkawinan ilmu sastra dengan ilmu sosial. Pengkajian sastra dengan pendekatan ini mengarahkan untuk dapat menguasai ilmu sastra dan juga ilmu sosial masyarakat pada waktu itu.
Sastra tidak akan pernah lepas dari kehidupan masyarakat, karena karya sastra merupakan pencerminan sosial masyarakatnya. Kehidupan masyarakat pada saat karya sastra diciptakan dapat diketahui dari isi cerita yang tertuang di dalam karya tersebut. Terutama kehidupan sosial akan sangat berpengaruh pada penceritaan karya sastra.
Seperti halnya yang diungkapkan oleh Watt, (dalam Wiyatmi, 2008: 20) sosiologi karya sastra mengkaji sastra sebagai cermin masyarakat. Apa yang tersirat dalam karya sastra dianggap mencerminkan atau menggambarkan kembali realitas yang terdapat dalam masyarakat. Pencerminan sosial budaya melalui karya sastra dapat menjelaskan suatu situasi sosial dan sejarah suatu wilayah dimana karya sastra itu lahir. Ditinjau dari karya sastra itu sendiri, hal ini sepaham dengan pendapat Zerafta (dalam Elizabelt, 1973: 133) bahwa bentuk dan isi karya sastra sebenarnya memang lebih banyak diambil dari fenomena sosial. Karenanya, karya sastra seringkali tampak terikat dengan momen khusus dalam sejarah masyarakat.
Metode sosiologi sastra berdasarkan prinsip bahwa karya sastra merupakan refleksi atau cermin masyarakat pada zaman karya sastra itu ditulis. Sebagai anggota masyarakat, penulis tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan sosial budaya, politik, keamanam, ekonomi, dan alam yang melingkupinya. Selain merupakan suatu pengalaman moral yang dituangkan oleh pengarang melalui bahasa, sastra dalam kenyataannya menampilkan gambaran kehidupan. Sedangkan kehidupan itu sendiri merupakan kenyataan sosial (Damono, 1978: 1)
Berkaitan dengan kondisi sosial dan potret sejarah pada waktu itu, novel Jalan Tak Ada Ujung menyuguhkan keadaan sosial yang merupakan cermin dari zamannya. Pasca proklamasi merupakan setting waktu yang ikut mempengaruhi kondisi sosial budaya, ekonomi, pendidikan, dan politik masyarakat Indonesia pasca kemerdekaan dan kembalinya Belanda (NICA) ke Indonesia.

C.    Sinopsis
Novel Jalan Tak Ada Ujung menceritakan tokoh Isa yang bekerja sebagai Guru di Tanah Abang. Guru Isa bersama dengan kawan-kawannya Hazil, Rakhmat dan masih banyak lainnya ikut tergabung dalam laskar rakyat. Memperjuangkan rakyat Indonesia untuk meraih kemerdekaan secara utuh, tanpa harus dibayangi oleh Belanda. Karena pada saat pacsa kemerdekaan RI, tepatnya tahun 1946 sekutu datang kembali ke Jakarta diboncengi oleh Belanda yaitu NICA.
Pada saat itu kerusuhan banyak terjadi di jalanan Ibukota. Bahkan sampai ke Gang Jaksa. Guru Isa yang akan pergi mengajar ke sekolah melewati Gang Jaksa terpaksa sembunyi menghindari kerusuhan tersebut. Serdadu Belanda menembak tak tentu arah dan melakukan penggeledahan. Setelah kerusuhan berakhir Guru Isa melanjutkan perjalanannya ke sekolah. Tetapi sekolah sepi, banyak siswa yang tidak datang akibat perperangan pagi itu.
Sekolah dibubarkan karena banyak yang tidak datang. Namun Guru Isa masih tinggal di sekolah untuk mengoreksi pekerjaan siswa kemarin. Selesai mengoreksi Guru Isa menyimpan buku pekerjaan siswa ke almari. Ia melihat tumpukan buku baru dan berniat mencurinya untuk dijual kepada pedagang Tionghoa. Ia mengambil sepuluh buku itu, lalu segera memasukkan ke tasnya. Uang hasil menjual buku ia berikan kepada Fatimah istrinya, untuk membeli beras. Pencurian itu sering ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan makannya.
Guru Isa mengikuti sebuah revolusi dengan ikut bergabung dengan laskar rakyat. Ia bekerja sebagai bendahara pemegang dana perjuangan yang jumlahnya sangat besar. Hal ini membebani Guru Isa. Ia takut akan mendapatkan bahaya besar.
Pergerakan revolusinya diarahkan untuk penyerangan Belanda di luar kota Jakarta. Mereka tidak berani menyerang di Jakarta, karena pendudukan Belanda di Jakarta sangat kuat. Sehingga mereka mengusung senjata-senjata dan menyelundupkannya ke Karawang.
Puncak perjuangan Guru Isa yaitu pada saat penyerangan di Bioskop Rex. Guru Isa memantau penyerangan. Sementara Hazil dan Rakhmat melancarkan serangan dengan melemparkan geranat tangan ke tengah-tengah keramaian bioskop, saat serdadu-serdadu Belanda keluar berjubel dari pintu bioskop. Mereka berhasil melarikan diri, dan pulang kerumah masing-masing. Lama mereka tidak saling memberi kabar. Banyak orange yang memuji keberanian pemboman di bioskop Rex.
Suatu hari Guru Isa membaca surat kabar. Disana tertulis bahwa salah satu dari pelaku pelemparan bom berhasil ditangkap. Guru Isa sangat cemas dan merasa ketakutan. Setelah itu Guru Isa menyusul ditangkap dan dipenjara bersama Hazil. Penjara itu memberikan kepada Guru Isa pelajaran yang sangat berharga. Ia dapat menyikapi rasa takutnya dan jiwa kelaki-lakiannya muncul kembali.

D.    Pembahasan
1.      Kondisi Ekonomi Masyarakat dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia diumumkan, Belanda berusaha menjatuhkan Indonesia dengan jalan blokade ekonomi. Cara ini ditempuh Belanda dengan menutup akses impor ekspor. Akibatnya pasokan kebutuhan Indonesia menjadi tidak lancar. Keadaan ekonomi yang carut marut digambarkan pula dalam novel Jalan Tak Ada Ujung sesuai dengan kondisi nyata masyarakat pada waktu itu. Kekurangan akan kebutuhan pokok mengakibatkan barang susah di dapat dan mengalami lonjakan harga yang tinggi. Seperti halnya beras sebagai bahan makanan pokok penduduk Indonesia yang susah di dapat, sehingga harganya pun menjadi lebih mahal dari biasanya.
“Kasih saya beras dua liter,” katanya pada anak Baba Tan yang menjaga warung. Anak itu membungkus beras dua liter dan diletakkannya di atas meja di depan perempuan itu.
“Enam rupiah!”
“Ah, naik lagi. Kemaren dulu juga seringgit,” bantah perempuan itu.
“Beras susah masuk sekarang,” anak itu membela harganya. (Lubis, 2010: 5)

Hal ini lebih dikuatkan oleh pernyataan seorang saudagar beras yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan pasokan beras. Bahkan satu karung beras pun tidak sampai padanya.
“Selamat pagi, Tuan Hamidy,” katanya membalas tersenyum ramah, dan dia berhenti, “bagaimana beras dari Karawang?” tanyanya. Ke dalam kepala Guru Isa masuk suatu pikiran.
“Minggu ini tidak sekarung yang bisa masuk. Semuanya ditahan….” (Lubis, 2010: 66)

Kelangkaan barang dalam suatu wilayah menyebabkan harga yang tak terkendali. Akibatnya penduduk kecil tidak mampu membeli beras untuk sekedar mengisi perutnya. Mereka mengharapkan hutangan beras agar dapat makan barang satu hari saja.
“Saya ngutang saja,” sahut perempuan itu, dan tangannya menjangkau bungkusan beras.
“Tidak boleh bon lagi sekarang,” kata Baba Tan dari pintu warung. Dia telah lama berdiri di sana mendengarkan.
“Tapi saya langganan lama.”
“Ya, tapi sekarang semua susah, saya juga banyak yang susah,” kata Baba Tan. “Tidak bisa kasih utang. Tidak bisa.”
Perempuan itu menarik tangannya kembali dari bungkusan besar dan berdiri diam. Ke mana aku harus pinjam uang, pikirnya. (Lubis, 2010: 5)

Kondisi perekonomian Indonesia pada saat itu cukup perpuruk dengan terjadinya inflasi. Keadaan khas Negara dan pajak nihil apalagi pemerintah tidak dapat mengontrol mata uang asing yang beredar di Indonesia, sehingga banyak beredar mata uang Jepang dan Belanda. Hal ini mempersulit keadaan rakyat. Seperti dalam novel Jalan Tak Ada Ujung, Guru Isa sebagai seorang penduduk sipil yang mempunyai pekerjaan tetap sebagai seorang guru masih saja mengalami kekurangan. “Sedang menggesek biola pikirannya melayang. Terkenang pada istrinya, dompetnya yang kosong, beras yang mesti di beli.” (Lubis, 2010: 26) Guru Isa yang telah punya penghasilan tetap saja juga mengalami kesulitan ekonomi. Ia tidak punya uang sepeserpun untuk mengisi dompetnya. Sedangkan beras di rumahnya juga telah habis. Keperluan makan setiap harinya harus ia tambal dengan mencari hutang. Makan seadanya, yang penting dapat mengisi perut dan mencegah rasa lapar.
Waktu makan kegembiraannya menjadi kurang. Di meja hanya tersedia kopi pahit yang tidak ada gulanya. Dan beberapa potong rebusan singkong yang dipanaskan kembali. Bekas kemarin malam.
“Kalau hari ini engkau tidak dapat uang, aku tidak tahu lagi kemana harus menghutang beras,” kata Fatimah padanya, menuangkan kopi untuknya. “Gula pun telah habis. Kepada Bibi Tatang aku telah menghutang beras lima liter. Belum juga aku ganti sudah seminggu. Sedang aku berjanji mengembalikannya dalam dua hari. Mambon di warung susah benar sekarang. Hutang pada tukang sayur telah lama aku tidak bayar.” (Lubis, 2010: 65)

Apalagi ditambah dengan keadaan perekonomian pemerintah yang defisit, memperburuk perekonomian rakyat. Pemerintah harus menghutang kepada Amerika pada saat itu. Dampak ini dirasakan juga oleh pegawai negeri seperti Guru Isa. Gaji dari pemerintah tidak teratur dibayar tiap bulannya.
Guru Isa diam saja. Dia minum kopi pahit panas ituyang membakar lidah dan kerongkongannya dan memanaskan perutnya. Dia tidak salahkan Fatimah. Gajinya sudah tidak cukup untuk makan mereka. Apalagi sekarang, ketika mereka menerima gaji sudah tidak teratur, dan kadang-kadang hanya menerima apa yang dinamakan “bantuan” saja. (Lubis, 2010: 65-66)

Pemerintah pada saat itu sampai tidak mampu membayar gaji pegawai negeri yang seharusnya mereka dapatkan setiap bulan. Kesejahteraan rakyat kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan pokok, rakyat kerap melakukan tidakan yang melanggar norma seperti penjarahan, perampokan, dan pencurian. Seperti halnya Guru Isa, kesulitan ekonomi yang ia hadapai memaksanya untuk mencuri. Padahal sebenarnya ia orang baik-baik, tidak kenal kekerasan apa lagi sampai menyalahi norma dengan mencuri. Tapi apa daya untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Tindakan ini ia lakukan, walau terselip rasa malu di hati nuraninya.
Guru Isa berdiri dan pergi ke lemari menyimpan buku-buku yang telah diperiksanya. Ketika dia hendak menutup lemari kembali, tiba-tiba pandangannya terpaut pada bungkusan buku-buku tulis yang baru….Sesuatu berkata, bahwa dengan mengambil dan menjual beberapa puluh buku itu dia akan dapat uang.
Guru Isa tertegun. Perkelahian terjadi dalam hatinya. Tiba-tiba dia merasa malu pada dirinya, bahwa pikirannya sendiri menyuruh ia mencuri.
“Aku juga telah jatuh begitu rendah, mencuri dari sekolahku sendiri,” pikir Guru Isa amat pahit dan amat malu.
“Ambillah barang sepuluh atau lima belas, tidak ada orang yang akan tahu.” pikirannya menyuruh mencuri.
“Dijual sebentar laku di toko Tionghoa di Pasar Tanah Abang itu. Dapat terjuang tujuh rupiah setengah sebuah. Sepuluh dapat uang tujuh puluh lima rupiah. Lumayan.”
Mulutnya rasanya kering. Dan dengan tangan tangan yang gemetar Guru Isa membuku bungkusan buku-buku tulis baru itu, diambilnya sepuluh, dan kemudian lemari ditutup kembali. Buku tulis yang baru itu cepat-cepat dan tergesa-gesa dimasukkannya ke dalam tasnya. Baru setelah tas dikuncinya, dia merasa lega sedikit. (Lubis, 2010: 68-69)

Guru Isa terpaksa mencuri buku di sekolahnya. Ia menjual buku tersebut, sedangkan uangnya untuk makan. Begitu memprihatinkan perekonomian saat itu. Sampai Guru Isa tidak hanya sekali saja mencuri. Saat persediaan makan di rumahnya habis, Guru Isa mencuri lagi. Setelah sekolah kosong, maka Guru Isa membuka lemari, dan mengambil 20 buah kitab tulis baru, memasukkannya ke dalam tasnya.(Lubis, 2010: 108).
Kebutuhan makan sudah terpenuhi saja, sudah sangat bersyukur. Sedangkan keperluan yang lain dikesampingkan. Guru Isa hidup seadanya, yang ia pikirkan adalah keperluan makannya untuk sekarang dan hari esok. Ia tidak pernah memperhatikan pakaian yang ia pakai. Pakaiannya seadanya, karena tidak ada dana untuk keperluan selain makan. Diambilnya baju piyama dari gantungan. Baju piyama yang sudah using dan warna strip-stripnya telah pucat. Dibukanya celana pantalonnya. Dia duduk ditempat tidur. Membuka sepatunya. Telah lama dia tidak punya kaos kaki lagi (Lubis, 2010: 109) Bahkan guru Isa rela tidak membeli kaos kaki. Padahal telah lama ia tidak mempunyai kaos kaki.
Defisitnya perekonomian sangat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Mereka hidup seadanya dengan serba kekurangan. Hal ini diperparah dengan adanya serangan atau perang yang dilancarkan sekutu dan NICA. Saat itu Indonesia sampai merugi dua ratus juta. Jumlah yang sangat besar pada waktu itu.

2.      Kondisi Sosial Budaya dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang peduli terhadap kehidupan sosial. Walau dalam posisi kerusuhan, peperangan, dan ketidakstabilan keamanan, tidak meruntuhkan rasa sosial masyarakat. Selain itu masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang ramah. Budaya tegur sapa masih melekat pada saat itu. Begitu juga dengan rasa tolong menolong dan gotong royong. Masyarakat selalu mengusahakan untuk dapat menolong orang lain.
“Kami bermaksud mau pinjam truk Tuan Hamidy sebentar sore,” kata Guru Isa. Dia ingat bunyi surat Hazil yang menyuruhnya carikan kendaraan sedapat-dapatnya kalau bisa.
“Untuk perjuangan membawa… Tuan maklum,” kata Guru Isa.
“Gampang, gampang. Pukul berapa perlu nanti saya sediakan,” kata Tuan Hamidy. “Dalam perjuangan kita mesti bantu-membantu, bukan? Kalau beras lepas, saya juga mau sumbangkan sekarung dua untuk badan perjuangan kita,” katanya. (Lubis, 2010: 67)

Tolong menolong merupakan suatu hal yang sudah membudaya. Kepedulian masyarakat dalam hal menolong orang lain tidak diragukan lagi. Rasa gotong royong juga tumbuh sebagai bentuk kepedulian sosial. Saat ada orang yang membutuhkan pertolongan. Dengan segera orang-orang berkerubung untuk menolongnya.
“Memang penyakitnya starternya suka macet.”
Anak-anak yang bermain-main memanjat truk itu sekarang berteriak-teriak, “Dorong, dorong saja!”
Akhirnya truk itu didorong. Tukang-tukang jahit keluar meninggalkan pekerjaan mereka, dan membantu mendorong. Dua orang tukang beca yang sedang ngopi berdiri dan ikut pula mendorong. Penjual pisang goreng dan  air kopi ikut pula. (Lubis, 2010: 77)

Kehidupan gotong royong merupakan cerminan sosial budaya masyarakat Indonesia. Orang-orang merelakan waktu dan kesibukannya untuk pergi menolong. Beberapa kali truk mogok, walau ditempat yang berbeda, tetap saja masih banyak orang yang rela menolong. Mobil mereka mogok kembali dekat Pencenongan. Tetapi mudah mereka mendapat tertolongan. Semua orang yang lewat ikut mendorong. Dan kemudian mereka tiba di depan pabrik limun. (Lubis, 2010: 78-79) Selain itu, kondisi seperti ini dapat pula kita lihat pada kutipan berikut ini:
Starter truk kembali macet. Hingga orang-orang yang lainterpaksa keluar rumah kembali membantu mendorong. Dari rumah-rumah lain orang keluar pula melihat truk itu harus didorong. Mereka ikut mendorong.
“Bagaimana juga saya mesti bilang bangsa kita paling bagus semangat gotong royongnya,” teriak sopir Dullah ketika mesin telah hidup, dan truk melancar pulang. “Dimana-mana mudah sekali dapat pertolongan.” (Lubis, 2010: 87)

Selain rasa tolong menolong dan gotong royong, masyarakat Indonesia terkenal sebagai bangsa yang ramah dan suka bertegur sapa. Namun karena keinginan atau harapan masyarakat yang ingin merdeka sepenuhnya tanpa campur tangan bangsa lain. Salam yang sering disampaikan saat mereka bertegur sapa adalah salam merdeka.
…. Kemudian Hazil berhenti di depan sebuah gubuk, masuk ke dalam dan mengetuk pintu.
“Merdeka! Rakhmat, truk sudah ada di jalanan!” teriaknya dari luar.
Pintu dibukanya berlahan-lahan, dan sebuah hidung, sebelah mata, sejemput kening dan rambut melihat mereka dari balik pintu.
Ketika mata itu mengenali Hazil pintu dibukakan lebar-lebar, dan orang yang membukakan pintu itu berkata, “Merdeka, Bung! Engkau? (Lubis, 2010: 79)

Jadi setiap bertemu dengan orang pribumi, maka kata salam yang diucapkan adalah “Merdeka!” Memang saat itu Negara Indonesia telah merdeka karena telah mengumumkan kemerdekaannya melalui proklamasi 1945. Sedangkan setting waktu dalam novel Jalan Tak Ada Ujung ini adalah tahun 1946. Namun kemerdekaan ini masih dibayang-bayangi oleh kembalinya sekutu yang diboncengi NICA ke tanah air.

3.      Kondisi Politik dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung
Kedatangan kembali sekutu yang diboncengi oleh Belanda atau NICA (Netherland Indies Civil Administration) membuat pemerintahan Indonesia pada waktu itu dalam kondisi yang sulit. Sekutu bermaksud menyerahkan kembali daerah kependudukan Jepang kepada Belanda. Belanda menginginkan Indonesia sebagai daerah persemahmurannya. Berikut rekapan peristiwa yang terangkum dalam http://www.wikipedia.com.
Berdasarkan Civil Affairs Agreement, pada 23 Agustus 1945 Inggris bersama tentara Belanda mendarat di Sabang, Aceh. 15 September 1945, tentara Inggris selaku wakil Sekutu tiba di Jakarta, dengan didampingi Dr. Charles van der Plas, wakil Belanda pada Sekutu. Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration - pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook.

Pada masa ini Indonesia harus berusaha mempertahankan kemerdekaannya. Berbagai upaya diusahakan untuk dapat mengusir kependudukan Belanda, sehingga Indonesia dapat menjadi negara yang utuh merdeka tanpa ada campur tangan bangsa lain. Pada novel Jalan Tak Ada Ujung diceritakan perjuangan politik generasi muda mempertahankan kemerdekaan yang telah berhasil di raihnya. Tokoh Guru Isa ikut andil dalam perjuangan tersebut. Ia bergabung dalam organisasi perjuangan laskar rakyat. Guru Isa mengikuti revolusi dan menjadi bagian dari BKR (Badan Keamanan Rakyat). Pada masa itu BKR adalah badan resmi yang di bentuk oleh pemerintah untuk menjaga keamanan rakyat.
Sebagai kebanyakan orang dihari-hari pertama revolusi itu, Guru Isa belum menganalisa benar-benar kedudukannya, kewajibannya dan pekerjaannya dalam revolusi. Selama ini ia membiarkan dirinya dibawa arus. Arus semangat rakyat banyak. Arus pikiran-pikiran dan kata-kata yang deras keluar dari macam-macam orang. Dia ikut jadi anggota jaga kampung. Malahan karena kedudukannya sebagai guru, maka ia menjadi wakil ketua panitia keamanan rakyat di kampungnya, dan menjadi penasihat Badan Keamanan Rakyat, lebih terkenal dengan nama BKR. (Lubis, 2010: 27)

Sebagai bagian dari bentuk perjuangan Guru Isa dan kawannya Hazil dan Rakhmat akan menjalankan suatu rencana besar. Ia bermaksud menyelundupkan senjata untuk perjuangannya. Pembawaan senjata pada saat itu adalah misi yang sangat berbahaya. Jika sampai ketahuan oleh tentara Belanda, mereka semua bisa dipenjara bahkan disiksa dan dibunuh.
“Ini bisa berbahaya,” kata Hazil, “kita pergi mengambil senjata dan membawanya ke Manggarai. Di sana kita sembunyikan dan kemudian akan diselundupkan ke Karawang.” (Lubis, 2010: 78)
Penyelundupan senjata tersebut bermaksud untuk persediaan di luar kota. Karena di Jakarta pendudukan Belanda sangat kuat. Sehingga kaum revolusionis seperti Guru Isa dan Hazil mengambil langkah politik untuk menyerang dari kota lain yang tidak terlalu kuat pertahanan tentara Belandanya. “Kalau mau perang juga bukan di Jakarta lagi,” kata Hazil. “Di sini kita tidak bisa perang. Musuh terlalu kuat. Karena itu sekarang kita bikin persediaan di luar kota. Sebab itu senjata-senjata mesti dikirim ke luar kota.” (Lubis, 2010: 78)
Perjuangan mereka sudah setengah jalan. Persenjataan sudah banyak yang berhasil diangkut ke luar kota. Namun Belanda membentuk arus politik lain yaitu dengan mengadakan perjanjian Linggarjati. Perjanjian ini digunakan untuk memecah halangan yang muncul dari rakyat. Mereka menipu rakyat dengan iming-iming perdamaian. Rakyat merasa damai setelah penandatanganan perjanjian Linggarjati. Rakyat berharap dengan adanya perjanjian tersebut kondisi Indonesia tidak kacau lagi dan dapat hidup damai.
“Bukankah persetujuan Linggarjati sudah ditandatangani. Masa kita msih terus berperang? Bukankah kita disuruh berdamai?” …. Ketika perjanjian Linggarjati ditandatangani dengan upacara yang hebat tanggal 25 Maret yang lalu, maka sebentar Guru Isa mengecap sejuk udara kebebasan. (Lubis, 2010: 106)

Padahal perjanjian Linggarjati sebenarnya digunakan oleh Belanda untuk menipu dunia Internasional. “Linggarjati dipakai Belanda hanya untuk menipu dunia internasional saja. Kita mesti lekas bersiap-siap.” Hazil memukul-mukul meja dengan tangannya. (Lubis, 2010: 107)
Hazil tidak pernah lengah pada misi perjuangannya. Perjanjian Linggarjati tidak begitu saja meruntuhkan semangat perjuangannya membebaskan Indonesia dari Belanda.
“Usaha kita harus dilipatgandakan sekarang,” kata Hazil padanya beberapa hari setelah persetujuan itu ditandatangani. Dia baru kembali ke Jakarta dari Karawang setelah persetujuan itu ditandatangani.
“Engkau jangan lupa Mojokerto yang diserbu Belanda beberapa hari sebelum perjanjian itu ditandangani,” kata Hazil ketika Guru Isa membantah dan mengatakan bahwa sekali ini tentu perdamaian akan tiba. (Lubis, 2010: 106)

Puncak perjuangan mereka adalah pada saat Guru Isa, Rakhmat, dan Hazil melancarkan penyerangan kepada tentara Belanda di Bioskop Rex. Mereka membawa bom tangan yang rencananya akan dilemparkan pada tentara Belanda saat keluar dari Bioskop. Mereka akan melemparkan granat tangan itu bersama-sama, dan kemudian lari. Melemparkan granat ketengah-tengah serdadu-serdadu Belanda yang mendesak-desak keluar dari bioskop. (Lubis, 2010: 129)
Perjuangan mereka mengusir Belanda sangatlah gigih. Mereka benar-benar melancarkan aksinya walau perjanjian Linggarjati sudah ditandatangani dan sudah membuai rakyat dengan perdamaian dan tidak adanya peperangan kembali.

4.      Kondisi Pendidikan dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung
Pemerintak sejak awal telah mencanangkan tujuan bangsa dalam bidang pendidikan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Landasan ini menjadi misi utama untuk menitikberatkan pembangunan di bidang pendidikan. Pencetus pendidikan itu sendiri adalah Ki Hajar Dewantara yang menjadi Bapak pendidikan sekaligus menjabat sebagai menteri pendidikan pada masa pasca kemerdekaan RI 1945.
Pemerintah dan masyarakat mulai sadar bahwa pendidikan sangat penting peranannya untuk kemajuan suatu bangsa. Sekolah diharapkan dapat memperkaya potensi rakyat. Pasca proklamasi sekolah dibuka untuk semua warga Negara tanpa kecuali. Pemerintah membentuk peraturan kewajiban belajar. Anak-anak yang telah berusia sepuluh tahun diwajibkan untuk memasuki sekolah.
Namun kekacauan yang terjadi saat kependudukan Belanda di Indonesia tahun 1946 berpengaruh dalam bidang pendidikan. Novel Jalan Tak Ada Ujung memaparkan kondisi pendidikan saat itu. Kondisi belajar yang tidak nyaman, saat kekacauan terjadi. Ketika terjadi penggeledahan dan perang akan mempengaruhi banyaknya siswa yang datang ke sekolah. Kelas menjadi tidak penuh, karena banyak siswa yang tidak berangkat.
Tokoh utama dalam novel Jalan Tak Ada Ujung yaitu Isa, dalam novel dijelaskan bahwa tokoh Isa peduli terhadap pendidikan. Hal ini terbukti dari profesi yang Isa pilih adalah menjadi seorang guru. “Lima menit mereka berjongkok berdekat-dekatan demikian. Jalan masih sepi juga. Isa merasa, bahwa dia perlu memperkenalkan dirinya. Dia berpaling kepada tuan rumah, dan berkata dengan tersenyum sedikit, “Nama saya Isa, guru sekolah di Tanah Abang.” (Lubis, 2010: 9)
Guru Isa mendapatkan pendidikannya dengan baik hingga ia bisa sekolah sampai HIK. “Dia ingat, ketika dia naik kelas enam sekolah HIS. Dia ingat, ketika melanjutkan ke HIK. (Lubis, 2010:154) Jaman dahulu sebenarnya pendidikan sudah menjadi suatu hal yang penting. Asal mau berusaha dan sadar akan pendidikan pasti dapat bersekolah ke jenjang yang tinggi. Tahun 1946 pendidikan tingkat HIK sudah merupakan pendidikan dengan tingkatan yang tinggi.
Walau saat itu, setelah kemerdekaan diproklamasikan tetap saja Indonesia mengalami kekacauan karena kedatangan NICA. Namun semangat Guru Isa dalam mengabdikan dirinya untuk pendidikan Indonesia tidak pernah surut. Guru Isa sangat peduli terhadap pendidikan. Ia selalu berangkat mengajar ke sekolah walaupun kondisi di luar sedang genting. Demi berangkat ke sekolah ia rela menembus kerusuhan yang terjadi di Gang Jaksa. “Ketika tembakan pertama di Gang Jaksa itu memecah kesunyian pagi Guru Isa sedang berjalan kaki menuju sekolahnya di Tanah Abang.”( Lubis, 2010:8) Kerusuhan tidak membunuh niat Guru Isa. Ia tetap berangkat ke sekolah walaupun sekolah sepi karena tidak banyak siswa yang datang.
“Ketika dia tiba di sekolah, dilihatnya anak-anak sekolah tidak banyak yang datang. Dua orang guru yang telah datang ketika ia tiba, bersiap-siap hendak pulang kembali.
“Mengapa pulang?” tanya Isa
“Ah, kelas kami cuma lima orang yang datang. Maklum ada pertempuran.” (Lubis, 2010:17)

Begitulah kondisi pendidikan pasca proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno tanggal 17 Agustus 1945. Indonesia tidak lantas damai dan aman tanpa campur tangan dari bangsa lain. Kedatangan Belanda ke Indonesia kembali memberikan dampak buruk pada keadaan Indonesia. Walau Indonesia telah merdeka tetapi masih sering ada pertempuran antara serdadu Belanda dengan rakyat.
Semangat dan pengorbanan seorang guru pada masa itu sangatlah besar. Di tengah kerusuhan dan keadaan yang tidak memungkinkan tokoh Guru Isa selalu mengutamakan profesinya sebagai seorang guru untuk datang dan mengajar di sekolahnya. Meskipun dalam keadaan sakit Guru Isa juga tetapi memaksakan diri untuk datang ke sekolah. “…., meskipun badannya masih agak lemah. Tetapi Guru Isa berkeras hendak mengajar kembali.” (Lubis, 2010: 117)
Pendidikan pada saat itu sudah mulai dikenal oleh rakyat banyak. Rakyat tidak memperoleh tekanan dalam mengenyam dunia pendidikan. Karena pada saat itu Indonesia telah bisa melepaskan diri dari penjajahan dan telah mulai menikmati kemerdekaannya. Termasuk juga merdeka dalam memperoleh pendidikan yang layak.

E.     Simpulan
Karya sastra merupakan potret dan cerminan masyarakat pada jamannya. Sehingga dapat dikatakan karya sastra lahir sebagai produk kehidupan masyarakat. Pencipta karya sastra itu sendiri juga bagian dari masyarakat, oleh karena itu karya sastra tidak dapat lepas dari kehidupan masyarakat.
Novel Jalan Tak Ada Ujung mengangkat kehidupan masyarakat Indonesia khususnya Jakarta pada masa pasca proklamasi kemerdekaan RI. Pada tahun 1946 kehidupan masyarakat Indonesian sangat terpuruk terutama dibidang politik dan ekonomi. Indonesia pada saat itu mengalami keadaan perekonomian yang defisit sehingga rakyat hidup kekurangan. Arah politik masih kacau, banyak orang belum paham dan mengerti bagaimana menjalankan roda politik pada saat itu. Ditambah lagi pendudukan Belanda yang memperburuk keadaan. Namun dalam bidang pendidikan, selama dijajah Indonesia telah sadar akan pentingnya pendidikan. Pemerintah mencanangkan program wajib pendidikan setelah anak berusia sepuluh tahun. Sosial budaya masyarakat pada waktu itu sangat mencerminkan kehidupan masyarakat Indonesia yang gotong royong, saling membantu tanpa pamrih, dan ramah (budaya tegur sapa dan mengucapkan salam saat bertemu dengan orang lain).
Pengkajian novel Jalan Tak Ada Ujung diharapkan dapat memberikan suatu pengetahuan kepada masyarakat dalam melihat dan mengetahui keadaaan yang sebenarnya dialami masyarakat Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan RI. Berdasarkan hal tersebut, pembaca dapat mengambil pelajaran dalam pengkajian novel sebagai sebuah renungan akan kehidupan sosial masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA 

Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Elizabeth, Tom Burn. 1973. Sociology of Literature & Drama. Harmondsworth: Penguin Books.

Lubis, Mochtar. 2010. Jalan Tak Ada Ujung. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Nyoman Dekker. Sejarah Revolusi Nasional. Sumber: http://books.google.co.id. Diunduh Tanggal 18 Juni 2012.

Randy. Kehidupan Politik Ekonomi dan Sosial Budaya Bangsa Indonesia Pasca Kemerdekaan 1945-1950. Sumber: http://randy4u.wordpress.com. Diunduh Tanggal 18 Juni 2012.

Rushdy Hoesein. Terobosan Sukarno dalam Perundingan Linggarjati. Sumber: http://books.google.co.id. Diunduh Tanggal 18 Juni 2012.

Suroso. Puji Santosa. Pardi Suratno. 2008. Kritik Sastra (Teori, Metodologi, dan Aplikasi). Yogyakarta: Elmatera.

Wikipedia, ensiklopedia bebas. Perundingan Linggarjati. Sumber: http://www.wikipedia.com. Diunduh Tanggal 18 Juni 2012.

Wikipedia, ensiklopedia bebas. Sejarah Indonesia (1945-1949). Sumber: http://www.wikipedia.com. Diunduh Tanggal 18 Juni 2012.

Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.

_______. 2008. Sosiologi Sastra (Teori dan Kajian terhadap Novel Indonesia). Yogyakarta: Kanwa Publisher.

2 komentar:

  1. keren banget blognya terimakasih ya membantu saya dalam mengerjakan tugas :)

    BalasHapus
  2. Makasih..blognya sngat mmbantu.

    BalasHapus