Membaca
Kota sebagai Tempat Singgah Sementara,
Refleksi
Catatan Sosial Bambang Widiatmoko
Seorang penyair tidak
akan pernah lepas dari latar belakang sosial masyarakatnya. Karena penyair
sejatinya adalah bagian dari anggota masyarakat yang dapat melihat berbagai catatan
sosial dari geliat dan gelagat yang terjadi dan sedang berkembang di dalam
masyarakat. Menurut Abrams, (dalam Pradopo, 1987: 254) karya sastra itu
mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh
keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya. Kepekaan penyair
menangkap realitas di sekelilingnya akan mengispirasi suatu karya utuh yang
dikemas dalam bahasa dengan pilihan diksi khas seorang penyair berupa puisi. Menurut
Suroso (2009: 103) peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering
menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan Tuhan, alam
semesta, masyarakat, manusia lain, dan dirinya sendiri. Hubungan inilah yang
melahirkan berbagai masalah yang terjadi dalam diri manusia dan harus dihadapi.
Puisi-puisi Bambang
Widiatmoko yang bertolak pada kehidupan masyarakat, akan kita kembalikan pada
keadaan sosial untuk mengungkap realitas yang ada di masyarakat dalam
puisi-puisinya. Puisi Bambang Widiatmoko mencoba menggambarkan kehidupan
masyarakat modern sekarang ini. Bambang Widiatmoko terinspirasi oleh catatan
sosial masyarakat, bahwa telah banyak manusia yang dengan sengaja melanggar
ketentuan-ketentuan dan lupa pada hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan. Manusia tidak akan hidup kekal di dunia ini dan nantinya akan kembali
kepada Sang Pencipta.
Membaca antologi puisi
Bambang Widiatmoko, dapat kita rasakan esensial suatu latar belakang sosial
atau tempat yang banyak digambarkan dalam syair-syairnya. Sampai-sampai Bambang
Widiatmoko memberikan judul puisinya dengan latar sosial suatu setting tempat (kota) yaitu “Kota Tanpa
Bunga”. Judul antologi puisi ini diambil dari salah satu judul puisi yang ada
di dalamnya pada halaman 12 dan dipersembahkan kepada Wan Anwar.
Tidak seperti
kebanyakan orang awam memaknai sebuah kota sebagai suatu setting tempat saja. Pemaknaan Bambang Widiatmoko terhadap suatu
tempat sangatlah dalam. Ia memberikan arti yang mungkin tidak banyak orang
pikirkan mengenai hakikat sebuah tempat. Tempat (kota) dalam konteks judul puisi
“Kota Tanpa Bunga” dapat dimaknai sebagai tempat singgah. Kota sebagai tempat singgah,
tentu saja hanyalah sementara dan tidak akan tinggal untuk selama-lamanya atau
abadi. Menurut pepatah Jawa urip mung
mampir ngombe. Begitu juga dengan kehidupan kita di dunia ini hanya
sementara dan diibaratkan cuma mampir minum. Suatu saat nanti kita akan kembali
pada Tuhan yang telah menciptakan kita.
Sementara bunga
merupakan simbol akan sesuatu yang indah, suci, harum, dan menyejukkan hati.
Namun hal yang seperti itu tidak ada di kota yang penyair kisahkan dalam
puisi-puisinya. Kota yang penyair ceritakan adalah kota tanpa bunga, yaitu
tempat singgah sementara di dunia ini yang tidak indah lagi bagaikan tanpa bunga.
Ada baiknya kita baca secara utuh puisi berikut ini.
Kota
Tanpa Bunga
Kutemu kota tanpa bunga
Apalagi kata-kata, telah dipatuk burung
gereja
Hanya deretan pohon asam tua
Pertanda dulu pernah jaya
Debu menyebar di alun-alun kota
Yang tampak tak tertata
Menghitung jejak yang tertinggal
Mungkin hanya sajak, lantas terinjak
Menemu malam, sepanjang jalan raya
Deretan lampu terukir Asma’ul Husna
Barangkali menjaga tutur kata
Atau tempat kita berjanji, melangkah
pergi
Bentang tua muncul di depan mata
Juga masjid dan menara
Menghitung peziarah, menghitung
peminta-minta
Semua penuh harap, hatinya mengerjap
Kota tua berselimut doa
Tersendar di tepi dermaga
Bagai perahu tua sarat luka
Siap terkubur di samudera
Penyair melukiskan
sebuah kota yang muram, amburadul, dan tak tertata. Kota yang digambarkan
penyair adalah kota yang tidak indah lagi. Sampai-sampai pusat kota yaitu
alun-alun penuh dengan debu atau kotor, yang tersisa di kota ini hanyalah
gedung-gedung dan pohon asam tua saksi bahwa dahulu kota ini pernah berjaya.
Kota yang digambarkan
penyair adalah kota yang gelap dan penuh dengan dosa. Hal ini ditunjukkan bahwa
penyair hanya menemukan malam di sepanjang jalan raya. Jalan ini disinari oleh
lampu. Lampu pada dasarnya hanya mampu menyinari tempat disekitarnya. Lampu ini
tidak dapat menerangi seluruh kota. Karena hanya bagian-bagian tertentu yang
dekat dengan lampu saja yang terang, yaitu jalan untuk mencari keridhoan Allah.
Orang-orang yang mengingat Allah dan mengagungkan kebesaran-Nya melalui Asma’ul
Husna akan mendapat cahaya petunjuk dari Allah. Disini penyair berharap bahwa
orang-orang dapat meninggalkan kegelapan ini dan melangkah pergi atau beranjak
dari hal-hal yang buruk. Hal ini sesuai dengan janji kita ketika dilahirkan di
dunia yaitu “orang hidup di dunia ini untuk beribadah kepada Allah”. Karena
nantinya semua orang akan mati dan kembali kepada Allah atau sangkan paraning dumadi seperti halnya
kota yang terkubur di samudera.
Penyair rupanya sudah
sangat paham akan hakikat manusia hidup di dunia ini yang hanya sementara. Saat
penyair berkunjung ke kota demi kota di nusantara, yang dia bayangkan adalah
persinggahan sementara. Penyair hanya singgah sementara di kota tersebut lalu
pergi lagi ke kota lainnya. Namun penyair tidak pernah menetap di kota yang dia
datangi. Dia menghayati setiap keadaan yang terjadi di kota-kota yang dia
singgahi. Keadaan kota memprihatinkan, kotor, bau, tak tertata, alamnya rusak
karena hutan-hutan terbakar dan itu semua disebabkan oleh ulah manusia. Penyair
selalu menimbulkan kesan murung dan murang dalam pencitraan kota yang dia
datangi. Terutama pada puisi “Palangkaraya” yang menceritakan hutan-hutan yang
habis terbakar. Selain itu puisi “Sungai Airmata Semesta” membuat kita miris
membaca nasib saudara kita di Sungai Martapura. Kehidupan mereka bagai ditebang
dengan parang.
Kita sulit sekali
menemukan kesan ceria dalam puisi Bambang Widiatmoko. Saat kita membaca
puisi-puisinya yang kita rasakan adalah kesan keheningan, muram, dan gejolak
jiwa. Berbeda halnya pada puisi berjudul “Bantimurung”. Penyair takjub pada
keindahan air terjun Bantimurung. Penyair menganggap itu merupakan keajaiban
semesta, air sungai yang tenang, alam yang indah dan masih terjaga ekosistem di
dalamnya, sehingga penyair ingin bisa kembali berkunjung lagi ke air terjun
Bantimurung.
Atmosfer tempat singgah sementara masih dapat kita
rasakan saat membaca puisi yang berhubungan dengan tempat-tempat sosial seperti
terminal, stasiun, bandara, dan pelabuhan. Perasaan batin ini dapat ditemukan
pada puisi dengan judul (Bandara Tjilik Riwut 1, Bandara Tjilik Riwut 2, Tanjung
Perak, Ruang Tunggu Bandara Hasanuddin, Stasiun Payakumbuh, dan Ruang Tunggu
Stasiun Tugu). Pada tempat-tempat ini penyair memberikan makna bahwa terminal,
stasiun, bandara, dan pelabuhan merupakan pemberhentian sementara. Di tempat
ini orang datang dan pergi. Ada yang datang (lahir) ada juga yang pergi
(meninggal). Sebagaimana kehidupan manusia di muka bumi ini. Kehidupan yang
pasti bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi, tetapi banyak menyimpan
teka-teki.
Teka-teki kehidupan sangat jelas terasa pada puisi
Bambang Widiatmoko dengan judul “Dunia Pantomim”. Kehidupan menurut penyair
bagaikan dunia pantomim yang penuh dengan kepalsuan dan banyak orang yang
bersembunyi di tebalnya bedak dan gincu bernama teka-teki. Hal ini dilakukan
untuk menutupi bopeng semesta yaitu keburukan dan kemunafikan. Kemunafikan
disini bagaikan sepasang telinga yang selalu siap mendengar. Namun selalu
berbeda dengan ucapan. Selalu melihat dengan sepasang bola mata. Namun berbeda
yang terekam di hati. Kebaikan hati telah menjadi fatamorgana yang susah
dicari, karena nurani telah dikebiri dan nisbi.
Sudah menjadi hukum alam, ada yang hitam dan ada yang
putih, ada yang buruk dan ada yang baik. Seperti halnya Allah menciptakan
kehidupan di dunia ini bagaikan papan catur yang berwarna hitam dan putih.
Disini setiap orang mendapatkan perannya masing-masing, ada yang menjadi pion
ada juga yang menjadi raja. Jika direnungkan pion dan raja ini seperti halnya
rakyat dan raja atau pimpinan negeri. Sangat menarik disini, bahwa penyair
memposisikan dirinya sebagai rakyat, sehingga tidak mempunyai kuasa untuk
memutar kehidupan. Negeri ini justru dikuasai oleh orang-orang yang tidak
mengetahui hakikat hidup di dunia sebagai tempat singgah sementara, yaitu para
pimpinan yang bersembunyi dalam dasi dan kekuasaannya. Permainan catur dapat
diesensikan sebagai laku pemerintahan. Namun pemerintah telah gagal memimpin
dirinya sendiri. Apa lagi memimpin negeri ini. Kepura-puraan dan kemunafikan
juga disampaikan Bambang Widiatmoko pada puisinya “Pedang Waktu”. Berikut ini
kutipan seutuhnya:
Pedang
Waktu
Aku
tak tahu sandiwara apa
Yang
tergelar dihadapanku
Bingung
mencari peran
Karena
begitu banyak antagonis
Yang
mengelilingi diriku
Hingga
aku merasa lelah dan kalah
Entah
sampai kapan sandiwara
Akan
berakhir, waktu terus saja berlalu
Aku
merasa makin tersudut
Dan
layar tak kunjung menutup
Genderang
perang pun tak ada
Tapi
mengapa kau serbu aku dengan pedang waktu.
Dunia ini penuh dengan sandiwara yang ada dihadapan
kita. Hal ini sama seperti puisi “Dunia Pantomim” yang penuh dengan kepalsuan
dan sandiwara. Kita harus mencari peran yang tepat untuk kita mainkan. Peran
yang akan kita jalani ditentukan oleh diri kita sendiri. Namun pada kehidupan
sosial sekarang hanya peran antagonis atau peran tokoh jahat yang lebih
mendominasi. Hal ini membuat penyair bingung untuk menentukan perannya. Karena
jika ditilik dari latar sosial penyair, dia dikeliliingi oleh kehidupan yang
telah berbelok dari ajaran agama.
Padahal disadari atau tidak waktu akan menyerbu
kita, mengakhiri kesementaraan dalam hidup ini. Karena umur kita hanya dibatasi oleh waktu. Seperti halnya “Syair
Tahun Baru” yang mencoba memaknai tahun yang menjadi sakti. Karena tahun yang
identik hubungannya dengan waktu menjadi sesuatu yang sakti. Karena waktu menjadi
sabda bagi kelahiran, menjadi pembunuh bagi kematian. Namun entah bagaimana
dengan cita-cita, hal ini masih dipertanyakan apakah akan gugur atau berkembang
layaknya sebuah bunga.
Latar belakang sosial masyarakat yang telah mengisi
catatan sosial penyair akan mempertegas bahwa manusia bebas memilih peran yang
akan dimainkan, seperti layaknya sebuah sandiwara. Sehingga disini ada
kehidupan yang lurus dan berbelok arah, karena kita pada dasarnya seperti
berada di atas gelombang yang akan membawa kita ke pelabuhan terakhir atau
terhempas di batu karang. Maka dari itu penyair ingin sekali dapat menentukan
nasibnya. Tanpa ada godaan dari lingkungan sosial masyarakatnya. Untuk itu
penyair ingin menjadi Tuhan yang bebas memimpin jiwa dan dirinya sendiri tanpa
harus menghiraukan sosial masyarakat yang ada di sekitarnya, dan dapat
menangkal bisikan setan. Hal ini jelas sekali tertulis dalam puisi “Aku Ingin
Jadi Tuhan”. Tuhan yang dimaksud penyair adalah Tuhan untuk dirinya sendiri,
yang berkuasa di hatinya. Tuhan ini berbeda dengan Tuhan orang kebanyakan.
Namun ingin menjadi Tuhan yang dimaksud bukan layaknya raja Fir’un yang menganggapp
dirinya sebagai Tuhan karena bisa mematikan dan menghidupkan manusia. Mematikan
menurut Raja Fir’un adalah memberi hukuman mati dan menghidupkan adalah
membebaskan tawanan.
Cermin sosial masyarakat yang dirasakan sekarang ini
sudah melenceng jauh dari kebenaran yang hakiki. Penyair memberikan gambaran
sosial masyarakat mengenai hal ini yaitu kebobrokan nurani dan moral. Manusia
banyak yang melenceng dari ajaran agama, berbuat syirik, melacurkan diri,
bahkan kehidupan sex sudah menjadi sesuatu yang tidak tabu lagi. Penyair
mengungkapkannya secara blak-blakan dengan menyebut sperma disepanjang trotoar,
pelacur, binal, tumpukan sperma membasahi jalan raya, dan buah dada, yang
dituangkan dalam puisi “Kota Bergoyang”, “Membongkar Yogya”, “Prajurit Pisang”,
dan “Parangkusumo” untuk menggambarkan permasalahan yang semakin kompleks di
suatu kota. Penyair sengaja menggunakan pilihan kata yang terkesan fulgar untuk
mendapatkan kesan secara mendalam akan hancur dan kacaunya sebuah kota,
sehingga oleh penyair digambarkan dengan kota tanpa bunga.
Bahkan pada puisi “Parangkusumo” jelas sekali
diungkapkan bahwa terjadi pengingkaran terhadap kuasa dan kebesaran Tuhan yaitu
perbuatan musrik atau menyekutukan Tuhan. Penyair menyebutkan bahwa
pengkhianatan biarlah menjadi jalan simpang. Hal ini ditandai oleh syair “Asap
membubung terbang bau kemenyan…. Serupa bunga setaman yang harum baunya”. Dalam
pemahaman konsep Jawa kemenyan dan bunga setaman merupakan ubarampe sesaji yang digunakan untuk meminta bantuan jin atau setan.
Artinya kehidupan sosial manusia saat itu sudah tidak percaya lagi pada
kekuatan Tuhan dan telah berbelok arah dari jalan lurus yang diridhoi Tuhan.
Begitulah manusia yang terkadang lupa bahwa akan ada kehidupan yang kekal
setelah kehidupan di dunia ini. Mereka bisa saja menjalani kehidupan yang
melenceng. Namun itu semua tergantung pada individu manusia masing-masing dalam
menentukan garis nasibnya.
Kebobrokan kota sebagai tempat singgah disampaikan
penyair secara terang-terangan. Bambang Widiatmoko menggunakan pilihan kata
yang mempunyai makna sangat dalam saat menggambarkan suatu substansi latar
sosial dalam kehidupan masyarakat. Namun inilah kenyataan yang sudah menjadi
rahasia publik pada kehidupan sosial masyarakat dewasa ini.
Kita sadari atau tidak, sebenarnya Tuhan telah
banyak menegur kita dengan datangnya berbagai bencana. Seperti halnya pada
puisi “Igau”, Jakarta yang merupakan kota metropolitan dan ibu kota Negara
Republik Indonesia tak luput dari bencana. Bencana banjir ini menggemparkan
kota Jakarta. Banyaknya bencana di negeri ini diperjelas oleh penyair pada puisi
berjudul “Negeri Bencana”.
Di negeri kita berbagai bencana menjadi sesuatu yang
sering terjadi. Karena sering terjadi gempa, maka gempa diibaratkan detak
nafas, banjir bisa datang secara tiba-tiba bagaikan ompol bayi. Kemarau telah
membelit kehidupan, gunung berapi meletus dan semburan awan panas atau wedhus gembel bagaikan hembusan nafas.
Membaca syair-syair tentang bencana (Tanda 1, Tanda 2, Hujan, Igau, Kuatrin
Tangis, Negeri Bencana, Menjemput Maut, Perahu, dan Lukisan Darah) mengajarkan
kita pada falsafah Jawa yaitu narima ing
pandhom (pasrah menerima keadaan) seperti pada puisi berikut ini:
Tanda
2
Mungkin
hanya tegur sapa
Tuhan
hendak bicara
Berat
beban bumi menyangga
Keserakahan
dan nafsu angkara
Atau
evolusi alam semesta
Berharap
kita bijak mengartikannya
Barangkali
hanya tanda
Jika
bumi menggeliat, hujan airmata
Ke
mana lagi kita sembunyi
Tanah
tempat kita berpijak
Membuat
kita enggan beranjak
Dan
akhirnya kita lelah, juga pasrah
Melalui puisi ini
penyair hendak menyampaikan pesan kepada pembaca bahwa kita harus bijaksana
dalam mengartikan suatu bencana. Bencana ini dapat diartikan sebagai teguran
dari Tuhan, melalui bencanalah Tuhan berbicara tentang beratnya dosa yang telah
manusia perbuat, sehingga bumi berat menyangga keserakahan dan nafsu angkara.
Selain itu bencana dapat pula diartikan sebagai evolusi alam semesta. Namun
bagaimanapun makna sebuah bencana tetap saja meninggalkan kesedihan dan
menyisakan air mata. Saat itulah manusia tidak dapat bersembunyi dari bahaya
kematian. Manusia harus menghadapi kejadian ini dengan pasrah dan menerima apa
yang telah menjadi kehendak Tuhan. Kesementaraan hidup jelas sekali terlihat
pada bencana yang kapan saja bisa menjemput kematian.
Berbicara masalah
kematian, setiap manusia cepat atau lambat pasti akan menghadapinya. Manusia
tidak selamanya tinggal abadi di dunia ini. Bayang maut mungkin saja menjemput
kapan saja. Seperti pada puisi berikut ini:
Di
Bawah Pohon Raksasa
Di bawah pohon raksasa kuburan tua
Ada bayangan aneh wajah malaikat
Membenamkan diriku pada liang lahat
Dan memberiku sebuah cermin untuk
melihat
Ada bayangan kengerian yang terpancar
Siksa kubur membuat jasad menjadi lebuh
Di bawah pohon raksasa kuburan tua
Kehidupan hanya tergantung pada sulur
akar
Tergetar perlahan ketika angin menerpa
Terasa ada kekuatan magis menggoyang
Antara kehidupan dan kematian
Hanya kabut yang bisa membedakannya
Jelas sekali dalam
puisi ini, penyair mengingatkan kita pada suatu bentuk kematian yang telah
ditentukan oleh Tuhan dan akan ada kehidupan lain disana berupa alam kubur.
Siksa kubur bagi orang yang tidak beriman akan senantiasa memancarkan bayang
kengerian, karena siksa kubur disini dapat meremukkan jasad seseorang. Penyair
merasakan hal demikian saat berada di bawah pohon raksasa kuburan tua. Seolah
disana ada kekuatan magis yang membimbingnya untuk merenungkan kehidupan dan
kematian. Kehidupan baginya hanya tergantung pada sulur akar yang siap terlepas
oleh terpaan angin.
Antologi puisi “Kota
Tanpa Bunga”, sebagian besar berlatar belakang kehidupan sosial masyarakat
sekarang ini. Masyarakat sudah mulai mematerikan Tuhan. Namun untuk meluruskan
padangan masyarakat, puisi-puisi Bambang Widiatmoko mengangkat eksistensi atau
kesadaran adanya Tuhan, bahwa hidup di dunia ini hanya sementara dan pada
akhirnya kita akan kembali padanya. Bambang Widiatmoko banyak berbicara
mengenai hidup dan kehidupan. Ia berpendapat bahwa hidup adalah menunggu. Menunggu
disini dalam artian menunggu saat-saat manusia bertemu dengan Tuhan. Seperti
halnya dalam Al-Qur’an surat Al-Insyiqaaq ayat 6 menyebutkan bahwa, “akhir dari
kehidupan adalah pertemuan dengan Allah”. Penyair merasa menjadi orang yang
beruntung karena dia mengungkapkan bahwa dirinya masih mempunyai Tuhan dalam
puisi berjudul “Kupu-kupu”, “Untung aku masih punyai Tuhan”.
Daftar
Pustaka
Asyarie,
Sukmadjaja dan Rosy Yusuf. 1984. Indeks Alquran. Bandung: Pustaka
Salman.
Pradopo,
Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sayuti,
Suminto A. 2000. Semerbak Sajak.
Yogyakarta: Gama Media.
_______.
2010. Berkenalan dengan Puisi.
Yogyakarta: Gama Media.
Suroso.
Puji Santosa. Pardi Suratno. 2009. Kritik
sastra: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera.
Widiatmoko,
Bambang. 2008. Kota Tanpa Bunga.
Jakarta: Bukupop.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar