Rabu, 18 Juli 2012

sosial analisis

Membaca Kota sebagai Tempat Singgah Sementara,
Refleksi Catatan Sosial Bambang Widiatmoko

Seorang penyair tidak akan pernah lepas dari latar belakang sosial masyarakatnya. Karena penyair sejatinya adalah bagian dari anggota masyarakat yang dapat melihat berbagai catatan sosial dari geliat dan gelagat yang terjadi dan sedang berkembang di dalam masyarakat. Menurut Abrams, (dalam Pradopo, 1987: 254) karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya. Kepekaan penyair menangkap realitas di sekelilingnya akan mengispirasi suatu karya utuh yang dikemas dalam bahasa dengan pilihan diksi khas seorang penyair berupa puisi. Menurut Suroso (2009: 103) peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan Tuhan, alam semesta, masyarakat, manusia lain, dan dirinya sendiri. Hubungan inilah yang melahirkan berbagai masalah yang terjadi dalam diri manusia dan harus dihadapi.
Puisi-puisi Bambang Widiatmoko yang bertolak pada kehidupan masyarakat, akan kita kembalikan pada keadaan sosial untuk mengungkap realitas yang ada di masyarakat dalam puisi-puisinya. Puisi Bambang Widiatmoko mencoba menggambarkan kehidupan masyarakat modern sekarang ini. Bambang Widiatmoko terinspirasi oleh catatan sosial masyarakat, bahwa telah banyak manusia yang dengan sengaja melanggar ketentuan-ketentuan dan lupa pada hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Manusia tidak akan hidup kekal di dunia ini dan nantinya akan kembali kepada Sang Pencipta.
Membaca antologi puisi Bambang Widiatmoko, dapat kita rasakan esensial suatu latar belakang sosial atau tempat yang banyak digambarkan dalam syair-syairnya. Sampai-sampai Bambang Widiatmoko memberikan judul puisinya dengan latar sosial suatu setting tempat (kota) yaitu “Kota Tanpa Bunga”. Judul antologi puisi ini diambil dari salah satu judul puisi yang ada di dalamnya pada halaman 12 dan dipersembahkan kepada Wan Anwar.
Tidak seperti kebanyakan orang awam memaknai sebuah kota sebagai suatu setting tempat saja. Pemaknaan Bambang Widiatmoko terhadap suatu tempat sangatlah dalam. Ia memberikan arti yang mungkin tidak banyak orang pikirkan mengenai hakikat sebuah tempat. Tempat (kota) dalam konteks judul puisi “Kota Tanpa Bunga” dapat dimaknai sebagai tempat singgah. Kota sebagai tempat singgah, tentu saja hanyalah sementara dan tidak akan tinggal untuk selama-lamanya atau abadi. Menurut pepatah Jawa urip mung mampir ngombe. Begitu juga dengan kehidupan kita di dunia ini hanya sementara dan diibaratkan cuma mampir minum. Suatu saat nanti kita akan kembali pada Tuhan yang telah menciptakan kita.
Sementara bunga merupakan simbol akan sesuatu yang indah, suci, harum, dan menyejukkan hati. Namun hal yang seperti itu tidak ada di kota yang penyair kisahkan dalam puisi-puisinya. Kota yang penyair ceritakan adalah kota tanpa bunga, yaitu tempat singgah sementara di dunia ini yang tidak indah lagi bagaikan tanpa bunga. Ada baiknya kita baca secara utuh puisi berikut ini.

Kota Tanpa Bunga
Kutemu kota tanpa bunga
Apalagi kata-kata, telah dipatuk burung gereja
Hanya deretan pohon asam tua
Pertanda dulu pernah jaya

Debu menyebar di alun-alun kota
Yang tampak tak tertata
Menghitung jejak yang tertinggal
Mungkin hanya sajak, lantas terinjak

Menemu malam, sepanjang jalan raya
Deretan lampu terukir Asma’ul Husna
Barangkali menjaga tutur kata
Atau tempat kita berjanji, melangkah pergi

Bentang tua muncul di depan mata
Juga masjid dan menara
Menghitung peziarah, menghitung peminta-minta
Semua penuh harap, hatinya mengerjap

Kota tua berselimut doa
Tersendar di tepi dermaga
Bagai perahu tua sarat luka
Siap terkubur di samudera

Penyair melukiskan sebuah kota yang muram, amburadul, dan tak tertata. Kota yang digambarkan penyair adalah kota yang tidak indah lagi. Sampai-sampai pusat kota yaitu alun-alun penuh dengan debu atau kotor, yang tersisa di kota ini hanyalah gedung-gedung dan pohon asam tua saksi bahwa dahulu kota ini pernah berjaya.
Kota yang digambarkan penyair adalah kota yang gelap dan penuh dengan dosa. Hal ini ditunjukkan bahwa penyair hanya menemukan malam di sepanjang jalan raya. Jalan ini disinari oleh lampu. Lampu pada dasarnya hanya mampu menyinari tempat disekitarnya. Lampu ini tidak dapat menerangi seluruh kota. Karena hanya bagian-bagian tertentu yang dekat dengan lampu saja yang terang, yaitu jalan untuk mencari keridhoan Allah. Orang-orang yang mengingat Allah dan mengagungkan kebesaran-Nya melalui Asma’ul Husna akan mendapat cahaya petunjuk dari Allah. Disini penyair berharap bahwa orang-orang dapat meninggalkan kegelapan ini dan melangkah pergi atau beranjak dari hal-hal yang buruk. Hal ini sesuai dengan janji kita ketika dilahirkan di dunia yaitu “orang hidup di dunia ini untuk beribadah kepada Allah”. Karena nantinya semua orang akan mati dan kembali kepada Allah atau sangkan paraning dumadi seperti halnya kota yang terkubur di samudera.
Penyair rupanya sudah sangat paham akan hakikat manusia hidup di dunia ini yang hanya sementara. Saat penyair berkunjung ke kota demi kota di nusantara, yang dia bayangkan adalah persinggahan sementara. Penyair hanya singgah sementara di kota tersebut lalu pergi lagi ke kota lainnya. Namun penyair tidak pernah menetap di kota yang dia datangi. Dia menghayati setiap keadaan yang terjadi di kota-kota yang dia singgahi. Keadaan kota memprihatinkan, kotor, bau, tak tertata, alamnya rusak karena hutan-hutan terbakar dan itu semua disebabkan oleh ulah manusia. Penyair selalu menimbulkan kesan murung dan murang dalam pencitraan kota yang dia datangi. Terutama pada puisi “Palangkaraya” yang menceritakan hutan-hutan yang habis terbakar. Selain itu puisi “Sungai Airmata Semesta” membuat kita miris membaca nasib saudara kita di Sungai Martapura. Kehidupan mereka bagai ditebang dengan parang.
Kita sulit sekali menemukan kesan ceria dalam puisi Bambang Widiatmoko. Saat kita membaca puisi-puisinya yang kita rasakan adalah kesan keheningan, muram, dan gejolak jiwa. Berbeda halnya pada puisi berjudul “Bantimurung”. Penyair takjub pada keindahan air terjun Bantimurung. Penyair menganggap itu merupakan keajaiban semesta, air sungai yang tenang, alam yang indah dan masih terjaga ekosistem di dalamnya, sehingga penyair ingin bisa kembali berkunjung lagi ke air terjun Bantimurung.
Atmosfer tempat singgah sementara masih dapat kita rasakan saat membaca puisi yang berhubungan dengan tempat-tempat sosial seperti terminal, stasiun, bandara, dan pelabuhan. Perasaan batin ini dapat ditemukan pada puisi dengan judul (Bandara Tjilik Riwut 1, Bandara Tjilik Riwut 2, Tanjung Perak, Ruang Tunggu Bandara Hasanuddin, Stasiun Payakumbuh, dan Ruang Tunggu Stasiun Tugu). Pada tempat-tempat ini penyair memberikan makna bahwa terminal, stasiun, bandara, dan pelabuhan merupakan pemberhentian sementara. Di tempat ini orang datang dan pergi. Ada yang datang (lahir) ada juga yang pergi (meninggal). Sebagaimana kehidupan manusia di muka bumi ini. Kehidupan yang pasti bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi, tetapi banyak menyimpan teka-teki.
Teka-teki kehidupan sangat jelas terasa pada puisi Bambang Widiatmoko dengan judul “Dunia Pantomim”. Kehidupan menurut penyair bagaikan dunia pantomim yang penuh dengan kepalsuan dan banyak orang yang bersembunyi di tebalnya bedak dan gincu bernama teka-teki. Hal ini dilakukan untuk menutupi bopeng semesta yaitu keburukan dan kemunafikan. Kemunafikan disini bagaikan sepasang telinga yang selalu siap mendengar. Namun selalu berbeda dengan ucapan. Selalu melihat dengan sepasang bola mata. Namun berbeda yang terekam di hati. Kebaikan hati telah menjadi fatamorgana yang susah dicari, karena nurani telah dikebiri dan nisbi.
Sudah menjadi hukum alam, ada yang hitam dan ada yang putih, ada yang buruk dan ada yang baik. Seperti halnya Allah menciptakan kehidupan di dunia ini bagaikan papan catur yang berwarna hitam dan putih. Disini setiap orang mendapatkan perannya masing-masing, ada yang menjadi pion ada juga yang menjadi raja. Jika direnungkan pion dan raja ini seperti halnya rakyat dan raja atau pimpinan negeri. Sangat menarik disini, bahwa penyair memposisikan dirinya sebagai rakyat, sehingga tidak mempunyai kuasa untuk memutar kehidupan. Negeri ini justru dikuasai oleh orang-orang yang tidak mengetahui hakikat hidup di dunia sebagai tempat singgah sementara, yaitu para pimpinan yang bersembunyi dalam dasi dan kekuasaannya. Permainan catur dapat diesensikan sebagai laku pemerintahan. Namun pemerintah telah gagal memimpin dirinya sendiri. Apa lagi memimpin negeri ini. Kepura-puraan dan kemunafikan juga disampaikan Bambang Widiatmoko pada puisinya “Pedang Waktu”. Berikut ini kutipan seutuhnya:

Pedang Waktu
Aku tak tahu sandiwara apa
Yang tergelar dihadapanku
Bingung mencari peran
Karena begitu banyak antagonis
Yang mengelilingi diriku
Hingga aku merasa lelah dan kalah

Entah sampai kapan sandiwara
Akan berakhir, waktu terus saja berlalu
Aku merasa makin tersudut
Dan layar tak kunjung menutup
Genderang perang pun tak ada
Tapi mengapa kau serbu aku dengan pedang waktu.

Dunia ini penuh dengan sandiwara yang ada dihadapan kita. Hal ini sama seperti puisi “Dunia Pantomim” yang penuh dengan kepalsuan dan sandiwara. Kita harus mencari peran yang tepat untuk kita mainkan. Peran yang akan kita jalani ditentukan oleh diri kita sendiri. Namun pada kehidupan sosial sekarang hanya peran antagonis atau peran tokoh jahat yang lebih mendominasi. Hal ini membuat penyair bingung untuk menentukan perannya. Karena jika ditilik dari latar sosial penyair, dia dikeliliingi oleh kehidupan yang telah berbelok dari ajaran agama.
Padahal disadari atau tidak waktu akan menyerbu kita, mengakhiri kesementaraan dalam hidup ini. Karena umur kita hanya dibatasi oleh waktu. Seperti halnya “Syair Tahun Baru” yang mencoba memaknai tahun yang menjadi sakti. Karena tahun yang identik hubungannya dengan waktu menjadi sesuatu yang sakti. Karena waktu menjadi sabda bagi kelahiran, menjadi pembunuh bagi kematian. Namun entah bagaimana dengan cita-cita, hal ini masih dipertanyakan apakah akan gugur atau berkembang layaknya sebuah bunga.
Latar belakang sosial masyarakat yang telah mengisi catatan sosial penyair akan mempertegas bahwa manusia bebas memilih peran yang akan dimainkan, seperti layaknya sebuah sandiwara. Sehingga disini ada kehidupan yang lurus dan berbelok arah, karena kita pada dasarnya seperti berada di atas gelombang yang akan membawa kita ke pelabuhan terakhir atau terhempas di batu karang. Maka dari itu penyair ingin sekali dapat menentukan nasibnya. Tanpa ada godaan dari lingkungan sosial masyarakatnya. Untuk itu penyair ingin menjadi Tuhan yang bebas memimpin jiwa dan dirinya sendiri tanpa harus menghiraukan sosial masyarakat yang ada di sekitarnya, dan dapat menangkal bisikan setan. Hal ini jelas sekali tertulis dalam puisi “Aku Ingin Jadi Tuhan”. Tuhan yang dimaksud penyair adalah Tuhan untuk dirinya sendiri, yang berkuasa di hatinya. Tuhan ini berbeda dengan Tuhan orang kebanyakan. Namun ingin menjadi Tuhan yang dimaksud bukan layaknya raja Fir’un yang menganggapp dirinya sebagai Tuhan karena bisa mematikan dan menghidupkan manusia. Mematikan menurut Raja Fir’un adalah memberi hukuman mati dan menghidupkan adalah membebaskan tawanan.
Cermin sosial masyarakat yang dirasakan sekarang ini sudah melenceng jauh dari kebenaran yang hakiki. Penyair memberikan gambaran sosial masyarakat mengenai hal ini yaitu kebobrokan nurani dan moral. Manusia banyak yang melenceng dari ajaran agama, berbuat syirik, melacurkan diri, bahkan kehidupan sex sudah menjadi sesuatu yang tidak tabu lagi. Penyair mengungkapkannya secara blak-blakan dengan menyebut sperma disepanjang trotoar, pelacur, binal, tumpukan sperma membasahi jalan raya, dan buah dada, yang dituangkan dalam puisi “Kota Bergoyang”, “Membongkar Yogya”, “Prajurit Pisang”, dan “Parangkusumo” untuk menggambarkan permasalahan yang semakin kompleks di suatu kota. Penyair sengaja menggunakan pilihan kata yang terkesan fulgar untuk mendapatkan kesan secara mendalam akan hancur dan kacaunya sebuah kota, sehingga oleh penyair digambarkan dengan kota tanpa bunga.
Bahkan pada puisi “Parangkusumo” jelas sekali diungkapkan bahwa terjadi pengingkaran terhadap kuasa dan kebesaran Tuhan yaitu perbuatan musrik atau menyekutukan Tuhan. Penyair menyebutkan bahwa pengkhianatan biarlah menjadi jalan simpang. Hal ini ditandai oleh syair “Asap membubung terbang bau kemenyan…. Serupa bunga setaman yang harum baunya”. Dalam pemahaman konsep Jawa kemenyan dan bunga setaman merupakan ubarampe sesaji yang digunakan untuk meminta bantuan jin atau setan. Artinya kehidupan sosial manusia saat itu sudah tidak percaya lagi pada kekuatan Tuhan dan telah berbelok arah dari jalan lurus yang diridhoi Tuhan. Begitulah manusia yang terkadang lupa bahwa akan ada kehidupan yang kekal setelah kehidupan di dunia ini. Mereka bisa saja menjalani kehidupan yang melenceng. Namun itu semua tergantung pada individu manusia masing-masing dalam menentukan garis nasibnya.
Kebobrokan kota sebagai tempat singgah disampaikan penyair secara terang-terangan. Bambang Widiatmoko menggunakan pilihan kata yang mempunyai makna sangat dalam saat menggambarkan suatu substansi latar sosial dalam kehidupan masyarakat. Namun inilah kenyataan yang sudah menjadi rahasia publik pada kehidupan sosial masyarakat dewasa ini.
Kita sadari atau tidak, sebenarnya Tuhan telah banyak menegur kita dengan datangnya berbagai bencana. Seperti halnya pada puisi “Igau”, Jakarta yang merupakan kota metropolitan dan ibu kota Negara Republik Indonesia tak luput dari bencana. Bencana banjir ini menggemparkan kota Jakarta. Banyaknya bencana di negeri ini diperjelas oleh penyair pada puisi berjudul “Negeri Bencana”.
Di negeri kita berbagai bencana menjadi sesuatu yang sering terjadi. Karena sering terjadi gempa, maka gempa diibaratkan detak nafas, banjir bisa datang secara tiba-tiba bagaikan ompol bayi. Kemarau telah membelit kehidupan, gunung berapi meletus dan semburan awan panas atau wedhus gembel bagaikan hembusan nafas. Membaca syair-syair tentang bencana (Tanda 1, Tanda 2, Hujan, Igau, Kuatrin Tangis, Negeri Bencana, Menjemput Maut, Perahu, dan Lukisan Darah) mengajarkan kita pada falsafah Jawa yaitu narima ing pandhom (pasrah menerima keadaan) seperti pada puisi berikut ini:

Tanda 2
Mungkin hanya tegur sapa
Tuhan hendak bicara
Berat beban bumi menyangga
Keserakahan dan nafsu angkara
Atau evolusi alam semesta
Berharap kita bijak mengartikannya

Barangkali hanya tanda
Jika bumi menggeliat, hujan airmata
Ke mana lagi kita sembunyi
Tanah tempat kita berpijak
Membuat kita enggan beranjak
Dan akhirnya kita lelah, juga pasrah

Melalui puisi ini penyair hendak menyampaikan pesan kepada pembaca bahwa kita harus bijaksana dalam mengartikan suatu bencana. Bencana ini dapat diartikan sebagai teguran dari Tuhan, melalui bencanalah Tuhan berbicara tentang beratnya dosa yang telah manusia perbuat, sehingga bumi berat menyangga keserakahan dan nafsu angkara. Selain itu bencana dapat pula diartikan sebagai evolusi alam semesta. Namun bagaimanapun makna sebuah bencana tetap saja meninggalkan kesedihan dan menyisakan air mata. Saat itulah manusia tidak dapat bersembunyi dari bahaya kematian. Manusia harus menghadapi kejadian ini dengan pasrah dan menerima apa yang telah menjadi kehendak Tuhan. Kesementaraan hidup jelas sekali terlihat pada bencana yang kapan saja bisa menjemput kematian.
Berbicara masalah kematian, setiap manusia cepat atau lambat pasti akan menghadapinya. Manusia tidak selamanya tinggal abadi di dunia ini. Bayang maut mungkin saja menjemput kapan saja. Seperti pada puisi berikut ini:

Di Bawah Pohon Raksasa
Di bawah pohon raksasa kuburan tua
Ada bayangan aneh wajah malaikat
Membenamkan diriku pada liang lahat
Dan memberiku sebuah cermin untuk melihat
Ada bayangan kengerian yang terpancar
Siksa kubur membuat jasad menjadi lebuh

Di bawah pohon raksasa kuburan tua
Kehidupan hanya tergantung pada sulur akar
Tergetar perlahan ketika angin menerpa
Terasa ada kekuatan magis menggoyang
Antara kehidupan dan kematian
Hanya kabut yang bisa membedakannya
Jelas sekali dalam puisi ini, penyair mengingatkan kita pada suatu bentuk kematian yang telah ditentukan oleh Tuhan dan akan ada kehidupan lain disana berupa alam kubur. Siksa kubur bagi orang yang tidak beriman akan senantiasa memancarkan bayang kengerian, karena siksa kubur disini dapat meremukkan jasad seseorang. Penyair merasakan hal demikian saat berada di bawah pohon raksasa kuburan tua. Seolah disana ada kekuatan magis yang membimbingnya untuk merenungkan kehidupan dan kematian. Kehidupan baginya hanya tergantung pada sulur akar yang siap terlepas oleh terpaan angin.
Antologi puisi “Kota Tanpa Bunga”, sebagian besar berlatar belakang kehidupan sosial masyarakat sekarang ini. Masyarakat sudah mulai mematerikan Tuhan. Namun untuk meluruskan padangan masyarakat, puisi-puisi Bambang Widiatmoko mengangkat eksistensi atau kesadaran adanya Tuhan, bahwa hidup di dunia ini hanya sementara dan pada akhirnya kita akan kembali padanya. Bambang Widiatmoko banyak berbicara mengenai hidup dan kehidupan. Ia berpendapat bahwa hidup adalah menunggu. Menunggu disini dalam artian menunggu saat-saat manusia bertemu dengan Tuhan. Seperti halnya dalam Al-Qur’an surat Al-Insyiqaaq ayat 6 menyebutkan bahwa, “akhir dari kehidupan adalah pertemuan dengan Allah”. Penyair merasa menjadi orang yang beruntung karena dia mengungkapkan bahwa dirinya masih mempunyai Tuhan dalam puisi berjudul “Kupu-kupu”, “Untung aku masih punyai Tuhan”.

Daftar Pustaka
Asyarie, Sukmadjaja dan Rosy Yusuf. 1984. Indeks Alquran. Bandung: Pustaka Salman.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sayuti, Suminto A. 2000. Semerbak Sajak. Yogyakarta: Gama Media.
_______. 2010. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.
Suroso. Puji Santosa. Pardi Suratno. 2009. Kritik sastra: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera.
Widiatmoko, Bambang. 2008. Kota Tanpa Bunga. Jakarta: Bukupop.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar