Tim Penggarap:
Wahyu Rahmayanti (ayu),
Noor Aini Dhiah W (aini),
Khanifatul (hanif).
PROGRAM KKT PBSI UNY Bersama Ibu Wiyatmi (Fiksi)
Wahyu Rahmayanti (ayu),
Noor Aini Dhiah W (aini),
Khanifatul (hanif).
PROGRAM KKT PBSI UNY Bersama Ibu Wiyatmi (Fiksi)
PSIKOANALISIS
TOKOH BUYUNG
DALAM
NOVEL HARIMAU! HARIMAU! :
SEBUAH
PENCARIAN JATI DIRI
A. Pengantar
Manusia adalah makhluk yang paling
sempurna. Kesempurnaan manusia ini salah satunya ditopang oleh kepribadian yang
melekat pada dirinya. Namun demikian, kepribadian ini bukan hanya yang melekat
pada diri seseorang, tetapi lebih merupakan hasil daripada suatu pertumbuhan
yang lama dalam suatu lingkungan kultural (Witherington dalam Dakir, 1993:143).
Dengan kata lain, kepribadian seseorang merupakan hasil dari suatu perkembangan
yang juga melibatkan peran serta lingkungan atau masyarakat.
Karya sastra seperti novel adalah cermin dari kehidupan di
masyarakat. Di Indonesia, ditemukan beberapa novel yang menonjolkan aspek
kepribadian tokoh. Kepribadian tokoh dalam novel bukan tidak mungkin merupakan
cerminan dari kepribadian seseorang dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu,
pemahaman terhadap perkembangan tokoh dalam suatu novel memungkinkan kita
menemukan nilai-nilai tertentu yang dapat kita refleksikan terhadap diri kita. Hal
ini sejalan dengan pemikiran Ratna (2009:342) yang menyebutkan bahwa karya
sastra memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung. Melalui
pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya, masyarakat dapat memahami
perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi dalam
masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan psike.
Novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis menampilkan tokoh Buyung
dengan perkembangan kepribadiannya yang menarik untuk dikaji. Buyung, pemuda 19
tahun, jatuh cinta kepada teman sepermainannya waktu kecil, Zaitun. Keraguannya
akan kecintaan Ziatun terhadap dirinya membuat ia bungkam, tak mengungkapkan
perasaannya kepada gadis pujaannya itu. Bagaimanapun usahanya untuk menyimpan
perasaannya kepada seorang yang sangat ia cintai tidak mampu mengelakkan
hasratnya sebagai seorang pemuda yang beranjak dewasa untuk mencintai dan
merasa dibutuhkan oleh seorang perempuan. Hasrat Buyung yang demikian tersebut pada akhirnya
berujung pada bentuk aktualisasi cinta yang keliru. Ia meniduri Siti Rubiyah,
seorang perempuan yang secara psikologis membutuhkan kasih sayang seorang
laki-laki. Dari sinilah awal kepribadian Buyung terbentuk. Perenungannya akan
‘dosa’ beserta norma-norma agama dan masyarakat menuntunnya menemukan ‘jalan
kebenaran’ kembali.
Makalah ini berusaha mengkaji perkembangan
kepribadian Buyung beserta bagaimana perkembangan kepribadian tersebut
membawanya menemukan jati diri sebagai seorang pemuda. Dalam pengkajian ini,
penulis menerapkan teori psikoanalisis Freud yang membedakan kepribadian
menjadi tiga macam, yaitu: Id, Ego, dan Superego (Ratna, 2009:344). Perkembangan
kepribadian Buyung pun akan diuraikan berdasar tiga hal tersebut. Lebih jauh,
teori Freud ini dipilih untuk mengkaji perkembangan kepribadian Buyung karena
teori ini dapat dimanfaatkan untuk mengungkapkan berbagai gejala psikologis di
balik gejala bahasa (Ratna, 2009:345).
B. Teori
1.
Tokoh
Menurut Abram dalam (Nurgiyantoro,
2007:165) tokoh cerita (karakter) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam
suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas
moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan
apa yang dilakukan dalam tindakan. Tokoh cerita sendiri dapat dipahamai secara
fisiologis, sosiologis, dan psikologis.
“…tokoh dalam
drama juga perlu dipahami secara tiga
dimensi, yaitu dimensi fisiologis, sosiologis, dan psikologis. Dimensi
fisiologis meliputi usia, jenis kelamin, kedaan tubuh, dan ciri-ciri muka, dan
sebagainya. Dimensi sosiologis meliputi status sosial, pekerjaan, jabatan,
peranan di dalam masyarakat, pendidikan, agama, pendangan hidup, ideologi,
aktivitas sosial, organisasi, hobi, bangsa, suku, dan keturunan. Dimensi
psikologis meliputi mentalitas, ukuran moral, keinginan dan perasaan pribadi,
sikap dan kelakuan (temperamen), juga intelektualitasnya (IQ).” (Wiyatmi,
2006:52)
2.
Kepribadian
a.
Pengertian
Witherington
(17:40) dalam Dakir (1997:143) memberikan definisi tentang kepribadian sebagai
berikut:
“Kepribadian
adalah keseluruhan tingkah laku seseorang yang diintegrasikan, sebagaimana yang
nampak pada orang lain. Kepribadian ini bukan hanya yang melekat pada diri
seseorang, tetapi lebih merupakan hasil daripada suatu pertumbuhan yang lama
dalam suatu lingkungan kultural.”
Harulhuda (2012) memberikan
pengertian tentang kepribadian sebagai berikut:
“Kepribadian merupakan suatu susunan sistem
psikofisik (psikis dan fisik yang berpadu dan saling berinteraksi dalam mengarahkan tingkah laku) yang kompleks dan dinamis
dalam diri seorang individu, yang menentukan penyesuaian diri individu tersebut
terhadap lingkungannya, sehingga akan tampak dalam tingkah lakunya yang unik dan berbeda
dengan orang lain dalam usahanya menjadi manusia sebagaimana dikehendakinya.”
b. Faktor
Pembentuk Kepribadian
1) Faktor
Keturunan
Keturunan
merujuk pada faktor genetis seorang individu. Tinggi fisik, bentuk wajah,
gender, temperamen, komposisi otot dan refleks, tingkat energi dan irama
biologis adalah karakteristik yang pada umumnya dianggap dipengaruhi dari
keturunan.
2) Faktor Lingkungan
Faktor
lingkungan berkaitan dengan lingkungan di mana seseorang tumbuh dan dibesarkan;
norma dalam keluarga, teman, dan kelompok sosial; dan pengaruh-pengaruh lain
yang seorang manusia dapat alami. Sebagai contoh, budaya membentuk norma,
sikap, dan nilai yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
3.
Teori
Psikoanalisis Freud
Karakter tokoh
Buyung dikaji menggunakan teori psikoanalisis dari Freud. Suroso (2009:41)
mengemukakan bahwa psikoanalisis adalah wilayah kajian psikologi sastra yang
menganalisis secara terperinci pengalaman emosional yang dapat menjadi sumber
atau sebab gangguan jiwa tokohnya. Kritik psikoanalsis akan berusaha mengungkap
tiga unsur kejiwaan manusia, yang meliputi Id, Ego, dan Superego.
“… Id adalah
sistem kepribadian manusia yang paling dasar, disebut pula libido. Id juga
merupakan aspek kepribadian yang paling “gelap” dalam bawah sadar manusia,
berisi insting dan nafsu-nafsu, tak kenal nilai dan menjadi “energi buta”,
karena belum dikendalikan. Id tidak dapat dimusnahkan, tetapi dapat
dikendalikan. Di dalam tidur, Id terjelma kembali hanya sebagian berwujud
mimpi.” (Suroso, 2009:41-42).
Dengan kata lain, Id adalah struktur
paling mendasar dari kepribadian, seluruhnya tidak disadari dan bekerja menurut
prinsip kesenangan, tujuannya adalah pemenuhan kepuasan yang segera. Ego
berkembang dari Id, struktur kepribadian yang mengontrol kesadaran dan
mengambil keputusan atas perilaku manusia. Suroso (2009:42) menjelaskan bahwa
Ego adalah kesadaran akan diri sendiri yang merupakan peraturan secara sadar
antara Id dan realitas luar. Ego biasanya mengawal dan menekan dorongan Id yang
kuat, mengubah sifat Id dari yang abstrak dan gelap ke hal-hal yang berdasarkan
pada prinsip kenyataan.
“Sementara itu, Superego (penuntun
moral dan aspirasi seseorang) berfungsi sebagai lapisan yang menolak sesuatu
yang melanggar prinsip moral, yang menyebabkan seseorang merasa malu atau
memuji sifat sesuatu yang dianggap baik. Jadi, Superego berkembang mengontrol
dorongan-dorongan kebutuhan Id, dan berisi nilai-nilai atau evaluatif” (Suroso,
2009:42). Superego, berkembang dari Ego saat manusia mengerti nilai baik buruk
dan moral. Superego merefleksikan nilai-nilai sosial dan menyadarkan individu
atas tuntutan moral. Apabila terjadi pelanggaran nilai, Superego menghukum Ego
dengan menimbulkan rasa salah.
4.
Peranan
Mimpi dalam Teori Psikoanalisis Freud
“Dalam kritik
psikoanalisis biasanya disoroti masalah mimpi, halusinasi, ketakutan yang
mencemaskan, timbulnya dorongan seksual pada tokoh-tokohnya, kegelisahan, dan
konflik-konfilik batin lainnya” (Suroso, 2009:42). Mimpi mempunyai peranan yang
penting dalam psikoanalisis Freud. Menurut Freud, mimpi adalah khayalan
psikologi orang normal, yang memberikan akses kepada ketidaksadaran. Mimpi
mempunyai pengertian atau manfaat dan juga tujuan. Mimpi adalah simbol, yang
mempunyai arti dan dapat diinterpretasikan.
Mimpi yang hadir dalam tidur seseorang bisa merupakan
perwujudan dari keinginan (Id) seseorang yang ditekan. Id yang tidak
direalisasikan akan tersimpan di dalam pikiran dan lama – lama menjadi sesuatu
yang tidak disadari.
C. Pembahasan
1.
Kepribadian
Tokoh Buyung
Buyung merupakan tokoh utama dalam
novel Harimau! Harimau! Dia seorang
pemuda yang dikenal baik dan sopan di kampungnya. Dalam kesehariannya, Buyung
bertindak wajar seperti pemuda-pemuda lainnya yang tinggal di Desa Air Jernih.
“Sutan,
Buyung, Talib, dan Sanip juga termasuk anak muda yang dianggap sopan dan baik
di kampung.”
“Mereka
orang-orang wajar seperti sebagaian terbesar orang di kampung. Mereka baik
dalam pergaulan, pergi sembahyang ke mesjid, duduk mengobrol di kedai kopi
seperti orang lain, mereka ikut bekerja bersama-sama ketika ada orang membangun
rumah, memperbaiki jalan-jalan, Bandar atau pun menyelenggarakan perhelatan….” (Lubis, 2004:
6).
Buyung dibesarkan secara Islamiah, sebagai seorang yang
menganut agama Islam ia mengenal shalat, mengaji dan berusaha menjauhkan diri
pada perbuatan dosa. Bahkan dalam kutipan di atas dijelaskan bahwa Buyung juga
pergi ke masjid untuk bersembahyang. Usaha Buyung untuk menghindari dirinya
dari perbuatan dosa ada pada kutipan di bawah ini.
“Aduh
aku lupa memeriksa perangkap kancil,” katanya kepada Sutan yang berjalan di
depannya.
“Siapa
tahu barangkali ada isinya pagi ini.”
“Mengapa
engkau tak kembali memeriksanya?” Kata Sutan. “Sayang bukan.”
“Tetapi
kita telah jauh.”
“Mana
jauh, baru jalan setengah jam. Tinggalkan saja keranjangmu di pinggir jalan,
tak aka nada orang yang mencurinya. Demikian engkau akan dapat berjalan lebih
cepat. Susul kami nanti di tempat bermalam.”
“Ah,
biarlah,” kata Buyung, masih ragu-ragu.
“Tetapi
kalau ada isinya, kancilnya bisa mati kelaparan,” kata Talib. “Berdosa engkau.”
Buyung
tampak ragu. Ucapan Talib menyebabkan dia mengambil keputusan untuk kembali.
“Baiklah,
aku kembali memeriksa perangkap,” katanya, “kalian terus saja. Nanti aku
susul.”
(Lubis, 2004: 58).
Begitu
diingatkan Talib akan dosa, Buyung berusaha sebisa mungkin untuk menjauhkan
diri dari perbuatan dosa. Ia bersedia kembali untuk memeriksa perangkap kancil
yang lupa diperiksanya saat akan melanjutkan perjalanan pulang. Ia takut
berdosa menyiksa kancil yang mungkin akan mati kelaparan jika tidak ia
selamatkan dari perangkapnya.
Walaupun
demikian, Buyung masih mempercayai takhayul karena ia tinggal di desa terpencil
yang kuat kepercayaannya pada sesuatu yang bersifat takhayul. Dia percaya pada
ilmu sihir, dan jimat-jimat Wak Katok. Buyung juga menjadi murid ilmu sihir Wak
Katok.
“……dan Buyung, yang termuda diantara
mereka, baru berumur sembilan belas tahun. Anak-anak muda itu semuanya murid
pencak Wak Katok. Mereka juga belajar ilmu sihir dan gaib padanya” (Lubis, 2004:
4).
Buyung dan
kawan-kaeannya selalu bermimpi akan diberi pelajaran oleh Wak Katok ilmu sihir
yang dahsyat. Dia terutama sekali ingin dapat belajar mantera pemikat hati
gadis…. (Lubis,
2004: 10)
Buyung dan
kawan-kawannya juga amat ingin mendapat ilmu menghilanh. Dia telah bermimpi
tentang hal-hal yang dapat dilakukannya…. (Lubis, 2004: 11).
Namun
pada perkembangannya, Buyung tahu bahwa ilmu-ilmu Wak Katok palsu dan ia tidak
percaya lagi.
“Jimat-jimatmu
palsu, mantera-manteramu palsu. Inilah jimat-jimat yang dipakai juga oleh Pak
Balam, oleh Talib, oleh Sutan, lihatlah, dimana mereka kini, mereka mempercayai
engkau…mereka telah mati, telah binasa…. Wak Katok diam saja.” Buyung – kepada
Wak Katok
(Lubis, 2004: 192).
Buyung
merasa paling kecil di antara rombongan pencari damar lainnya. Hal ini
menyebabkan Buyung tidak cukup percaya diri. Terutama masalah cinta, ia tidak
berani mengungkapkan cintanya kepada gadis pujaan hatinya, Zaitun.
Dia terutama
sekali ingin dapat belajar mantera pemikat hati gadis. Telah jatuh cinta benar kepada si Zaitun,
anak Wak Hamdan, akan tetapi sang gadis seakan acuh tak acuh saja (Lubis, 2004:
10).
Bagaimana hendak
memikat hati gadis yang demikian, kalau tidak dengan mantera Wak Katok? Buyung
bersedia melakukan apa saja, asal Wak Katok mengajarkan mantera yang diperlukan (Lubis, 2004:
12).
Sikap
Buyung yang tidak percaya diri dan takut ditolak cintanya oleh Zaitun mendorong
Buyung untuk meminta mantera kepada Wak Katok agar Buyung dapat menggunakannya
untuk memikat hati Zaitun tanpa takut cintanya ditolak. Namun pada perkembangan
psikologinya, tokoh Buyung mempunyai keberanian dan hendak mengungkapkan
cintanya kepada Zaitun tanpa menggunakan mantera dan jimat dari Wak Katok.“… aku akan kawin dengan Zaitun, karena dia
cinta padaku, dan bukan karena mantera dan jimat.” (Lubis, 2004: 202).
Selain
tidak percaya diri akan cintanya, pada awal penceritaan Buyung juga tidak
memiliki rasa percaya diri pada kemampuan yang dimilikinya. Ia menganggap bahwa
orang lain lebih unggul darinya.
Dalam hati
Buyung amat ingin lekas menjadi dewasa dan lelaki yang matang, seperti
kawan-kawannya yang lain. Umpamanya Sutan yang lebih pandai bersilat dari dia,
meskipun mereka sama-sama murid Wak Katok, yang telah menikah dan amat pandainya
bergaul dengan perempuan, tua atau muda, dan pandai pula bekerja mencari uang.
Sanip pandai bermain dangung-dangung. Dia ingin semudah Sanip menyanyi dan
menari dan bercerita.
(Lubis, 2004:15-16)
Sikap
Buyung yang tidak percaya diri membawa Buyung untuk selalu taat dan patuh pada
apa yang diperintahkan oleh orang lain. Dalam memimpin perburuan ia juga
menyerahkan pada Wak Katok. Padahal Buyung sebenarnya lebih pintar berburu
dibandingkan dengan Wak Katok. Namun dalam perkembangannya, tokoh Buyung menjadi
pribadi yang memiliki rasa percaya diri. Ia percaya pada kemampuan yang
dimilikinya. Ia lalu memimpin perburuan menggantikan Wak Katok.
“Ikat dia
baik-baik!” kata Buyung. Dengan sendirinya, Buyung kini yang mengambil pimpinan
antara mereka berdua. Sedang Sanip mengikat Wak Katok, Buyung memadamkan
api-api unggun lain yang telah dipasang Wak Katok (Lubis, 2004: 200).
Harimau itu
memperhatikan tempat yang agak terbuka dihadapannya dan kemudian dia
menegangkan tubuhnya…. Harimau itu merendahkan badannya, siap hendak melompat.
Buyung membidik hati-hati. Membidikkan senapan tepat di tengah antara kedua
mata harimau. dengan gembira ia melihat tangannya tidak gemetar. Sepanjang hari
hatinya selalu bertanya-tanya, dan dia merasa khawatir, apakah dia tidak akan ketakutan dan tak
kuasa membidik, tangannya dan seluruh badannya akan gemetar jika melihat
harimau. Akan tetapi kini dia merasa seluruh badannya dan pikirannya tenang.
Dia tahu apa yang dilakukannya, dia menginsyafi bahaya besar yang mereka
hadapi, dia yakin pada dirinya sendiri (Lubis, 2004: 208-209).
Sebagai
seorang remaja yang beranjak dewasa Buyung masih labil dalam mengambil
keputusan. Ia tidak tegas dalam menyikapi suatu masalah.
Saat-saat yang
menyuruh orang melakukan pilihan atau mengambil keputusan, pilihan yang mungkin
membawanya ke puncak kebahagiaan, atau juga ke dasar ngarai gelap kenistaas.
Atau yang membawa kesyukuran atau kesesalan seumur hidup. Saat serupa itulah
yang tiba akan tetapi berlaku kembali antara Buyung dan Siti Rubiyah (Lubis, 2004:
55)
Begitu
bingungnya Buyung dalam mengambil keputusan, tetapi setelah Buyung mengalami
suatu pengalaman dalam perjalanannya pulang ia mulai bisa mengambil keputusan.
Ia bermaksud mengambil keputusan untuk melupakan Siti Rubiyah dan akan memilih
Zaitun.
Dia tahu benar
kini, mereka esok akan pulang ke kampung, dan tahu, dia tak akan kembali
memenuhi janjinya pada Siti Rubiyah. Apa yang terjadi antara Siti Rubiyah
dengan dia adalah sebagai air sungai yang telah mengalir jauh di belakang,
telah tertutup, telah habis, dia kini tahu bahwa hidup manusia tak semudah yang
disangka
(Lubis, 2004: 211).
Buyung
sebagai seorang pemuda yang sudah berusia sembilan belas tahun, juga pandai
bekerja mencari nafkah. Hal ini dapat dilihat dari perbincangan antara orang
tua Buyung.
“Si Buyung pun
sudah besar. Sudah Sembilan belas tahun umurnya. Dan dia pun sudah pandai
bekerja,” kata ayahnya.
Sedang Buyung
menganggap dirinya telah dewasa. Dia telah berumur Sembilan belas tahun, dia
telah tamat sekolah rakyat, dia telah tamat Qur’an sampai dua kali, dan dia pun
pandai mencari nafkah sendiri (Lubis, 2004: 12-13).
Kepandaian
Buyung dalam mencari nafkah didukung oleh kepandaiannya berburu. Ia mahir
menggunakan senapan untuk membidik hewan buruannya. Kepandaiannya dalam berburu
mendapatkan pujian dari guru Buyung yaitu Wak Katok. Nama Buyung pun mulai
dikenal sebagai pemuda yang pandai berburu di kampungnya.
….Buyung bangga
benar dengan kepandaiannya menembakkan senapan lantak. Jarang benar ia melesat.
Hampir selalu kena sasarannya.
Dia pernah
membidik seekor babi yang sedang lari, yang dibidiknya tepat di belakang
kupingnya, dan disanalah peluru mengenai sang babi. Wak Katok sendiri pernah
memujinya, ketika dalam berburu babi ramai-ramai dengan orang kampung,
pelurunya menembus mata kiri seekor babi yang datang menyerang. Wak Katok dalam
kemarahan hatinya ketika itu mengatakan, bahwa dia sendiri pun tak dapat
memperbaiki tembakan Buyung. Sungguh sebuah pujian besar datang dari Wak Katok.
Buyung merasa amat bangga dan namanya sebagai penembak yang mahir mulai
termasyur di kampung.
Pujian dari Wak
Katok sebagai pemburu yang termahir dan penembak yang terpandai di seluruh
kampung, merupakan semacam pengangkatan resmi juga untuk Buyung….. (Lubis, 2004:
8-9)
Walau
pandai berburu, tetapi Buyung masih mempunyai rasa belas kasih kepada orang
lain. Bahkan kepada orang yang baru saja ia kenal. Buyung tidak mempunyai
keraguan untuk menolong orang lain. Bahkan ia merasa bangga jika bisa menolong.
“Apa, apa?”
tanya Buyung, penuh rasa ingin tahu, dan hasrat hendak menolong.
Malu aku
sebenarnya mengatakannya, akan tetapi kepada siapa kini tempat aku mengadu,
jika bukan kepada kakak yang begitu baik hati padaku?” katanya kemudian, dan
memandang kepada Buyung dengan matanya penuh rasa percaya dan minta bantuan,
yang membuat Buyung melupakan umurnya yang muda, dan dia merasa dirinya seorang
lelaki yang dewasa dan gagah perkasa, dan yang sanggup membela dan melindungi
perempuan muda yang tak berdosa, yang lemah dan yang sedang dalam kesusahan
ini.
“Katakanlah.”
desak Buyung, “akan aku tolong engkau.” (Lubis, 2004: 64-65)
Buyung
jika menolong orang tidak didasari oleh pamrih. Ia selalu ikhlas menolong
siapapun yang membutuhkan pertolongan. Seperti halnya ia menolong Pak Haji
Rakhmad.
…dan ketika dia melihat
ke wajah Pak Haji… Buyung melompat amat cepat mendekati Pak Haji… parang
panjangnya dihayunkannya, Pak Haji terdorong kepinggir terkejut… nah, kena
dia!! Buyung berseru gembira… badan Pak Haji pucat ketika melihat badan dan
kepala ular hijau yang kini bergerak-gerak jatuh di tanah yang lembab. Ular
yang amat berbisa. Dia hampir saja dipatuk oleh ular yang berbisa itu yang
turun dari pohon ketika ia lewat. Untuglah Buyung memalingkan mukanya hendak
melihat wajah Pak Haji.
“Terima kasih,
Buyung. Engkau telah menyelamatkan jiwaku,” kata Pak Haji.
“Terima kasih,
Buyung. Engkau bersedia membahayakan jiwamu untuk menolong aku?”
“Tentu aku
bersedia menolong Pak Haji, siapa saja yang dalam bahaya,” katanya dengan
sederhana. “dan tak ada bahayanya bagiku,” tambahnya kemudian.
“Ada juga orang
yang serupa ini, yang bersedia menolong orang lain, tanpa memikirkan bahaya
untuk dirinya sendiri. Dan tak pula ia mengharapkan balas jasa.” batin Pak Haji (Lubis, 2004:
179-180).
Rasa
belas kasih Buyung juga ia tunjukkan kepada keluarganya. Ia hendak memberikan
ibunya uang. Buyung juga mempunyai rasa perhatian kepada ibunya. Ia bahkan tahu
warna kesukaan ibunya. Padahal itu suatu hal yang sepele.
Oh, dia akan
membelikan sebuah kain sembahyang yang baru untuk ibunya. Ibunya akan senang
benar dengan kain sembahyang baru nanti, sebuah kain pelekat berwarna merah
tua. Itulah warna yang disenangi ibunya. Kemudian apa lagi?
Oh, dia akan
memberi ibunya uang untuk membantu belanja di rumah. Sejak ia pandai menyimpan
uang, selalu dia memberi uang pada ibunya, meskipun ibunya mengatakan, bahwa
dia tak perlu memberikan uang, kata ibunya kepada Buyung (Lubis, 2004:
59).
Selain
pada keluarganya, Buyung juga peduli dan mempunyai rasa tanggung jawab terhadap
warga kampung tempat ia tinggal. Ia takut jika bahaya yang sedang ia hadapi
sekarang juga akan menyerang warga kampungnya, sehingga Buyung bersedia
memerangi bahaya yang ada di depan matanya sebelum bahaya itu sampai ke kampung
kelahirannya dan merugikan banyak orang.
“dan jika tak kita
buru kini, maka harimau akan datang ke kampung menyerang ternak. Akan habis
lembu dan kambing, dan siapa tahu orang kampung pun akan jadi korbannya.
“Tetapi tidaklah
itu menjadi urusan orang sekampung nanti?” kata Pak Haji, “mengapa kita saja
yang memikul tugas membunuhnya?”
“Tak sampai
kesana pikiranku,” kata Buyung, “menurut rasa hatiku, di mana kita bertemu
dengan yang jahat, dan hendak merusak kita, atau merusak orang lain, merusak
orang banyak, maka kita yang paling dekat wajib melawannya. Masa harus kita
tunggu dulu diri kita yang kena bala, maka baru kita bangkit melawannya? Masa
kita berdiam diri selama diri kita yang tak kena?” (Lubis, 2004:
181-182).
2.
Perkembangan
Kepribadian Tokoh Buyung
Sebagai seorang pemuda yang beranjak
dewasa, Buyung mempunyai ketertarikan terhadap lawan jenis. Dia jatuh cinta
kepada Zaitun, bunga desa yang tak hanya cantik tetapi juga pintar mengaji dan
menjahit. Bagi Buyung, Zaitun merupakan potret gadis desa yang sempurna.
Keinginan terbesar Buyung (Id) adalah memiliki Zaitun seutuhnya, baik jiwa
maupun raga. Hal ini terlihat pada pikiran Buyung:
“Buyung merasa,
bahwa jika Zaitun tak merasa seperti yang dirasakannya, maka rasanya tak puas
hatinya akan kawin dengan Zaitun, meskipun kedua orang tua mereka menyetujui
perkawinan itu. Buyung tahu, bahwa biasanya orang kawin menurut pilihan yang
dilakukan orang tua saja, akan tetapi dia sendiri ingin memilih isteri, dan
isterinya memilih dia pula.” (Lubis, 2008: 14).
Pada kutipan di atas dapat ditarik
simpulan bahwa Buyung benar-benar memiliki keinginan untuk menjalin hubungan
yang serius dengan Zaitun. Hubungan tersebut bukan hanya hubungan sebatas
pacar, melainkan hubungan pernikahan yang didasari oleh cinta dan kasih sayang
antara keduanya.
Usia sembilan belas tahun merupakan
usia yang cukup dewasa bagi seorang laki-laki untuk dapat mandiri, tidak
bergantung kepada kedua orang tua. Pada usia ini, seorang laki-laki juga ingin
mendapatkan kasih sayang selain dari ibu. Begitu pula dengan tokoh Buyung. Dia
menginginkan dicintai dan disayangi oleh Zaitun. Selain itu, Buyung ingin
merasa dibutuhkan oleh perempuan yang dicintainya. “Kadang-kadang serasa hilang akal Buyung memikirkan bagaimana dapat
membuat Zaitun jatuh cinta padanya, supaya Zaitun setiap saat ingat padanya,
rindu padanya,…” (Lubis, 2008:14).
Kutipan
di atas menyiratkan betapa cintanya Buyung pada Zaitun. Namun, Buyung merasa
pesimis akan kemungkinan terwujudnya keinginannya tersebut (Id). Ia tidak dapat
menafsirkan sikap Zaitun yang terkadang manis dan terkadang acuh tak acuh
terhadap Buyung.
“Kadang-kadang
Zaitun tersenyum amat manis sekali kepadanya, jika mereka bertemu di jalan yang
menuju pancuran. dan mata Zaitun akan mencari matanya, dan memancarkan cahaya
yang penuh arti. Akan tetapi kadang-kadang, jika melihat Buyung dari jauh
hendak berpapasan dengan dia, maka dari jauh-jauh dia telah membuang mukanya,
pura-pura asyik bercakap-cakap dengan kawan-kawannya, dan seakan taktahu bahwa
Buyung lewat dekatnya.” (Lubis, 2008:10).
Dalam
mewujudkan keinginannya itu, Buyung yang sudah merasa pesimis kemudian meminta
tolong kepada Wak Katok, seorang dukun, agar memberinya ilmu pemikat hati
gadis. “Dia terutama sekali ingin dapat
belajar mantera pemikat hati gadis. Dia telah jatuh cinta benar pada si Zaitun,
anak Wak Hamdani, Pak Lebai di kampung, akan tetapi sang gadis acuh tak acuh
saja.” (Lubis, 2008:10). Usaha untuk merealisasikan Id-nya ini tidak
membuahkan hasil karena Wak Katok tidak bersedia memberikan ilmunya kepada
Buyung yang masih terlalu muda.
Buyung
yang sedari awal sudah merasa pesimis, kini menjadi putus asa. Keputusasaannya
itu mendorong Ego-nya untuk tidak mengungkapkan perasaan cintanya kepada Zaitun
secara langsung, tetapi justru menyimpan perasaannya itu.
Bagaimanapun usahanya untuk menyimpan perasaannya
kepada seorang yang sangat ia cintai, ia tidak mampu mengelak dari hasratnya
sebagai seorang pemuda yang beranjak dewasa untuk mencintai dan merasa
dibutuhkan oleh seorang perempuan. Hal ini terbukti pada saat istri muda Wak
Katok, Siti Rubiyah yang sering mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya,
membutuhkan pertolongan dan perlindungannya.
“Akan
tetapi melihat Siti Rubiyah duduk mencangkung demikian di depannya, dan
menundukkan kepala ke tanah, tak sampai hatinya untuk mengaku kalah, dan tak
berbuat apa – apa. Dijangkaukannya tangannya memegang bahu Siti Rubiyah, dan
Siti Rubiyah merebahkan kepalanya ke pangkuan Buyung, dan Buyung menghapus –
hapus kening Siti Rubiyah, dan berkata:
“Diamlah, diamlah Rubiyah, jangan engkau menangis.
Tenanglah.” Kembali rasa lelakinya timbul mengalir kuat bersama darahnya,
ketika Siti Rubiyah memegang tangannya, dan kemudian memeluk pinggangnya dan
menyembunyikan kepalanya ke perut Buyung sambil berkata:
“Lindungi
aku, Kak. Tak ada orang yang mau menolong aku, selain Kakak. Kepada siapa aku
akan meminta tolong kini?” (Lubis, 2008:67).
Rasa empati Buyung kepada Siti Rubiyah tercermin pada
tindakan Buyung di atas. Buyung berusaha memberikan perlindungan dan rasa aman
kepada Siti Rubiyah yang memang membutuhkan perlindungan dari seorang laki –
laki. Sikap Rubiyah yang demikian ini menjadikan Buyung merasa sebagai seorang
laki – laki dewasa yang dibutuhkan. Perasaan inilah yang selama ini ia inginkan
dan tidak ia dapatkan dari Zaitun, gadis pujaan hatinya.
Rasa empati Buyung kepada Siti Rubiyah menjerumuskan
mereka mengaktualisasikan bentuk kasih sayang yang salah. Buyung yang pada
dasarnya merupakan pemuda baik – baik dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga
yang agamis pada akhirnya melakukan bentuk kasih sayang yang melanggar agama.
Tindakan
Buyung terhadap Siti Rubiyah tersebut pada dasarnya adalah Ego yang merupakan
perwujudan dari Id-nya (keinginan untuk mendapatkan cinta Zaitun) yang ia
simpan atau tekan.
Pada
dasarnya, Buyung mempunyai keinginan (Id) yang baik. Namun, Buyung mengambil
tindakan yang salah dalam mewujudkan Id-nya. Ego-nya yaitu 1) berusaha memikat
Zaitun dengan guna-guna dan 2) menyimpan perasaan cintanya kepada Zaitun yang
justru dimanifestasikan dalam bentuk tindakan cinta yang salah itu tidak sesuai
dengan Superego-nya. Hati nurani dan agama yang dianut Buyung yang
merupakan Superego-nya menuntun dia
untuk merenungkan hal-hal yang telah dilakukannya. “Meskipun mereka memicingkan mata, akan tetapi pikirannya tak berhenti.
Ketukan Pak Balam terhadap hati nurani mereka masih berkumandang juga di dalam
relung hati dan pikiran, bergema ke bawah sadar.” (Lubis, 2008:113).
Kutipan tersebut mengisyaratkan bahwa Buyung memikirkan semua tindakan yang
sebenarnya tidak pantas ia lakukan. Hal ini juga terlihat pada pikiran Buyung: “Bukankah Siti Rubiyah istri orang lain?”
(Lubis, 2008: 74).
Dalam diri Buyung timbul pula ketakutan akan dosa-dosa
yang telah ia lakukan seperti terlihat pada: “Tiba-tiba Buyung teringat pada dosa-dosanya sendiri, dan pikirannya
bertambah kacau…. Maka lalu ia tak dapat lagi damai dengan dosa-dosanya,…”
(Lubis, 2008: 159). Konflik batin yang dialami tokoh Buyung secara tidak
langsung telah menghukum jiwanya. Hukuman ini berasal dari hati nuraninya
sendiri dan kesadaran akan pengetahuan agama yang Buyung peroleh sejak kecil.
Di sinilah peran penting Superego dibutuhkan dalam mengarahkan pikiran sadar
manusia untuk menjadi pribadi yang baik.
Konflik batin Buyung yang berkepanjangan bermuara pada
sebuah refleksi diri yang menuntunnya menemukan jati dirinya sebagai seorang
pemuda dewasa. Pada akhirnya, dia menyadari kesalahan yang diperbuatnya dan
menyesali dosa–dosanya. Ia menyesal telah berusaha memikat hati Zaitun dengan
guna-guna. Hal ini terlihat pada ungkapan penolakan Buyung terhadap Wak Katok
yang akan membuatkan mantera pemikat gadis: “aku
akan kawin dengan Zaitun, karena dia mencintaiku, dan bukan karena mantera dan
jimat.” (Lubis, 2008:202).
Buyung
juga mendapatkan pelajaran yang berharga dari Ego memendam perasaan cinta
kepada Zaitun. Memendam perasaan cinta justru membawanya kepada masalah baru
yang berkaitan dengan Siti Rubiyah, seorang perempuan yang tidak dicintainya.
Sebagai seorang pemuda yang sedang mencari identitasnya untuk menjadi laki-laki
dewasa, ia ingin berkomitmen kepada perempuan yang benar-benar dicintainya
saja.
“Untuk membina
kemanusiaan perlulah mencinta, orang sendiri tak dapat hidup sebagai
manusia…ya, dia akan mencintai manusia, dia akan mulai mencintai Zaitun… dia
akan belajar dan berusaha jadi manusia yang hidup dengan manusia lain… Buyung
merasa sesuatu yang segar memasuki dirinya, seakan sebuah beban berat yang
selama ini menimpa kepala dan seluruh dirinya telah terangkat. Alangkah enaknya
merasa jadi manusia kembali, lepas dari ikatan takhayul, ikatan mantera, dan
ikatan jimat yang palsu.” (Lubis, 2008:212).
Uraian di atas menunjukkan bagaimana
kepribadian Buyung terbentuk. Buyung yang pada awalnya merupakan pemuda yang
masih belum dapat mengambil keputusan, kini telah mampu menentukan pilihan –
pilihan hidupnya. Buyung telah memutuskan untuk tidak lagi mempercayai
takhayul. Ia juga telah menentukan sikap yang tegas atas perasaan cintanya
kepada Zaitun. Ia tidak akan terlalu lama memendam perasaannya. Ia bertekad
untuk menikahi Zaitun. Keberanian Buyung untuk menikah tersebut menunjukkan
kematangannya dalam berpikir dan bersikap, karena menikah adalah suatu
keputusan dewasa yang mengandung banyak konsekuensi.
Kemampuan dalam menentukan pilihan
hidup ini menunjukkan bahwa ia telah berhasil melewati proses pencarian jati
diri. Semua ini tidak terlepas dari peranan Id, Ego, dan Superego yang ada pada
dirinya.
Id yang tidak direalisasikan akan
tersimpan di dalam pikiran dan lama – lama menjadi sesuatu yang tidak disadari.
Keinginan Buyung yang tidak direalisasikan tersimpan di dalam pikiran dan
lama-lama menjadi sesuatu yang tidak disadari. Bentuk ketidaksadaran ini
diwujudkan dalam mimpi yang dialami oleh Buyung. Zaitun gadis yang dicintainya
hadir dalam mimpinya.
“Buyung bermimpi
dia rasanya naik perahu hendak menyeberang danau, dan di langit berkumpul awan
gelap menandakan badai hendak turun, akan tetapi dia hendak menyeberangi danau
juga, dan ketika dia telah agak jauh dari pantai, dia melihat Zaitun datang
berlari memanggil-manggilnya. Mimpinya demikian nyata terasa olehnya, hingga
ketika ia terbangun dan duduk terkejut, ditelinganya masih terngiang seruan
Zaitun menanggilnya pulang: Yuuuuuungngng!” (Lubis, 2008: 79).
Keinginan
Buyung untuk mendapatkan cinta Zaitun yang tertekan dalam Ego, kemudian
tersimpan di dalam pikiran dan menjadi sesuatu yang tak disadari. Keinginan
tersebut dimanifestasikan lewat mimpinya. Dalam mimpi tersebut, Buyung yang
hendak menyeberangi danau dalam kondisi alam yang tak bersahabat,
dipanggil-panggil oleh Zaitun. Sikap Zaitun yang tampak dalam mimpi tersebut
menyiratkan bahwa ia menaruh perhatian yang besar terhadap Buyung. Zaitun
khawatir akan keselamatan Buyung. Melalui mimpi ini, keinginan Buyung untuk
mendapatkan cinta Zaitun terealisasi dalam alam bawah sadarnya.
D. Simpulan
Sebagai seorang pemuda yang beranjak
dewasa, Buyung mempunyai keinginan menjadi laki-laki dewasa pada umumnya. Dia
ingin menjalin hubungan yang serius dengan Zaitun. Namun keingianan (Id) Buyung
tersebut terhalang oleh ketidakberaniannya dalam mengambil keputusan.
Ketidakberaniannya ini menunjukkan bahwa tokoh Buyung belum memiliki jati diri
sebagai laki-laki dewasa. Sikapnya ini mendorong Buyung untuk menekan perasaan
cintanya kepada Zaitun, yang justru menimbulkan masalah baru yang berkaitan
dengan Siti Rubiyah (Ego). Hati nurani dan agama yang dianut Buyung (Superego) menuntun
dia untuk merenungkan hal-hal yang telah dilakukan sehingga ia pada akhirnya
menemukan jati diri sebagai seorang laki-laki dewasa. Ia menyadari bahwa cinta
yang sejati tidak datang karena guna-guna, tetapi muncul dengan sendirinya. Ia
tidak lagi percaya pada takhayul. Ia juga telah menentukan sikap yang tegas
atas perasaan cintanya kepada Zaitun. Ia bertekad untuk menikahi Zaitun.
Keberanian Buyung untuk menikah tersebut menunjukkan kematangannya dalam
berpikir dan bersikap.
Kemampuan dalam menentukan pilihan
hidup ini menunjukkan bahwa Buyung telah berhasil melewati proses pencarian
jati diri yang tidak terlepas dari peranan Id, Ego, dan Superego yang ada pada
dirinya. Dalam tokoh Buyung, Id-nya lah yang lebih dominan. Walaupun Id-nya
hanya sebentuk angan yang ditekan saja, tanpa realisasi, tetapi keinginannya
untuk mendapatkan cinta Zaitun ini sangat kuat.
Ego untuk mewujudkan Id tidak terlalu dominan karena adanya penekanan terhadap
Id tersebut. Demikian pula dengan Superego Buyung. Peran Superego di awal
kepribadian tidak terlalu menonjol sehingga Buyung melakukan tindakan yang
tidak sesuai dengan agama dan norma masyarakat.
Disadari atau tidak, setiap orang
memiliki Id, Ego, dan Superego. Ketiganya memberikan kontribusi dalam
pembentukan kepribadian seseorang. Baik atau buruk kepribadian yang terbentuk
ditentukan oleh bagian kepribadian mana antara Id, Ego, dan Superego yang lebih
menonjol.
Daftar
Pustaka
Dakir.
1993. Dasar-Dasar Psikologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lubis, Mochtar.
2008. Harimau! Harimau!. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Sayuti,
A Suminto. Berkenalan dengan Prosa Fiksi.
Nurgiyantoro,
Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Suroso. 2009. Kritik Sastra. Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta:
Elmatera Publishing.
Wiyatmi.
2006. Pengantar Kajian Fiksi. Yogyakarta: Pustaka.
http://harulhudabk.blogspot.com/2012/04/