Sabtu, 09 Juni 2012

Analisis Sastra (Psikoanalisis) Tokoh Utama Buyung dalam Novel Harimau! Harimau karya Mochtar Lubis

Tim Penggarap:
Wahyu Rahmayanti (ayu),
Noor Aini Dhiah W (aini),
Khanifatul (hanif).
PROGRAM KKT PBSI UNY Bersama Ibu Wiyatmi (Fiksi)



PSIKOANALISIS TOKOH BUYUNG
DALAM NOVEL HARIMAU! HARIMAU! :
SEBUAH PENCARIAN JATI DIRI

A.  Pengantar

Manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Kesempurnaan manusia ini salah satunya ditopang oleh kepribadian yang melekat pada dirinya. Namun demikian, kepribadian ini bukan hanya yang melekat pada diri seseorang, tetapi lebih merupakan hasil daripada suatu pertumbuhan yang lama dalam suatu lingkungan kultural (Witherington dalam Dakir, 1993:143). Dengan kata lain, kepribadian seseorang merupakan hasil dari suatu perkembangan yang juga melibatkan peran serta lingkungan atau masyarakat.
            Karya sastra seperti novel adalah cermin dari kehidupan di masyarakat. Di Indonesia, ditemukan beberapa novel yang menonjolkan aspek kepribadian tokoh. Kepribadian tokoh dalam novel bukan tidak mungkin merupakan cerminan dari kepribadian seseorang dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, pemahaman terhadap perkembangan tokoh dalam suatu novel memungkinkan kita menemukan nilai-nilai tertentu yang dapat kita refleksikan terhadap diri kita. Hal ini sejalan dengan pemikiran Ratna (2009:342) yang menyebutkan bahwa karya sastra memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung. Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya, masyarakat dapat memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi dalam masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan psike.
Novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis menampilkan tokoh Buyung dengan perkembangan kepribadiannya yang menarik untuk dikaji. Buyung, pemuda 19 tahun, jatuh cinta kepada teman sepermainannya waktu kecil, Zaitun. Keraguannya akan kecintaan Ziatun terhadap dirinya membuat ia bungkam, tak mengungkapkan perasaannya kepada gadis pujaannya itu. Bagaimanapun usahanya untuk menyimpan perasaannya kepada seorang yang sangat ia cintai tidak mampu mengelakkan hasratnya sebagai seorang pemuda yang beranjak dewasa untuk mencintai dan merasa dibutuhkan oleh seorang perempuan. Hasrat  Buyung yang demikian tersebut pada akhirnya berujung pada bentuk aktualisasi cinta yang keliru. Ia meniduri Siti Rubiyah, seorang perempuan yang secara psikologis membutuhkan kasih sayang seorang laki-laki. Dari sinilah awal kepribadian Buyung terbentuk. Perenungannya akan ‘dosa’ beserta norma-norma agama dan masyarakat menuntunnya menemukan ‘jalan kebenaran’ kembali.
Makalah ini berusaha mengkaji perkembangan kepribadian Buyung beserta bagaimana perkembangan kepribadian tersebut membawanya menemukan jati diri sebagai seorang pemuda. Dalam pengkajian ini, penulis menerapkan teori psikoanalisis Freud yang membedakan kepribadian menjadi tiga macam, yaitu: Id, Ego, dan Superego (Ratna, 2009:344). Perkembangan kepribadian Buyung pun akan diuraikan berdasar tiga hal tersebut. Lebih jauh, teori Freud ini dipilih untuk mengkaji perkembangan kepribadian Buyung karena teori ini dapat dimanfaatkan untuk mengungkapkan berbagai gejala psikologis di balik gejala bahasa (Ratna, 2009:345).
                                                                                                                           
B.  Teori
1.    Tokoh
     Menurut Abram dalam (Nurgiyantoro, 2007:165) tokoh cerita (karakter) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Tokoh cerita sendiri dapat dipahamai secara fisiologis, sosiologis, dan psikologis.
“…tokoh dalam drama juga perlu dipahami  secara tiga dimensi, yaitu dimensi fisiologis, sosiologis, dan psikologis. Dimensi fisiologis meliputi usia, jenis kelamin, kedaan tubuh, dan ciri-ciri muka, dan sebagainya. Dimensi sosiologis meliputi status sosial, pekerjaan, jabatan, peranan di dalam masyarakat, pendidikan, agama, pendangan hidup, ideologi, aktivitas sosial, organisasi, hobi, bangsa, suku, dan keturunan. Dimensi psikologis meliputi mentalitas, ukuran moral, keinginan dan perasaan pribadi, sikap dan kelakuan (temperamen), juga intelektualitasnya (IQ).” (Wiyatmi, 2006:52)

2.    Kepribadian
a.    Pengertian
            Witherington (17:40) dalam Dakir (1997:143) memberikan definisi tentang kepribadian sebagai berikut:
“Kepribadian adalah keseluruhan tingkah laku seseorang yang diintegrasikan, sebagaimana yang nampak pada orang lain. Kepribadian ini bukan hanya yang melekat pada diri seseorang, tetapi lebih merupakan hasil daripada suatu pertumbuhan yang lama dalam suatu lingkungan kultural.”

                          Harulhuda (2012) memberikan pengertian tentang kepribadian sebagai berikut:
“Kepribadian merupakan suatu susunan sistem psikofisik (psikis dan fisik yang berpadu dan saling berinteraksi dalam mengarahkan tingkah laku) yang kompleks dan dinamis dalam diri seorang individu, yang menentukan penyesuaian diri individu tersebut terhadap lingkungannya, sehingga akan tampak dalam tingkah lakunya yang unik dan berbeda dengan orang lain dalam usahanya menjadi manusia sebagaimana dikehendakinya.”
b.      Faktor Pembentuk Kepribadian
1)   Faktor Keturunan
            Keturunan merujuk pada faktor genetis seorang individu. Tinggi fisik, bentuk wajah, gender, temperamen, komposisi otot dan refleks, tingkat energi dan irama biologis adalah karakteristik yang pada umumnya dianggap dipengaruhi dari keturunan.
2)   Faktor Lingkungan
            Faktor lingkungan berkaitan dengan lingkungan di mana seseorang tumbuh dan dibesarkan; norma dalam keluarga, teman, dan kelompok sosial; dan pengaruh-pengaruh lain yang seorang manusia dapat alami. Sebagai contoh, budaya membentuk norma, sikap, dan nilai yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
3.    Teori Psikoanalisis Freud
            Karakter tokoh Buyung dikaji menggunakan teori psikoanalisis dari Freud. Suroso (2009:41) mengemukakan bahwa psikoanalisis adalah wilayah kajian psikologi sastra yang menganalisis secara terperinci pengalaman emosional yang dapat menjadi sumber atau sebab gangguan jiwa tokohnya. Kritik psikoanalsis akan berusaha mengungkap tiga unsur kejiwaan manusia, yang meliputi Id, Ego, dan Superego.
“… Id adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar, disebut pula libido. Id juga merupakan aspek kepribadian yang paling “gelap” dalam bawah sadar manusia, berisi insting dan nafsu-nafsu, tak kenal nilai dan menjadi “energi buta”, karena belum dikendalikan. Id tidak dapat dimusnahkan, tetapi dapat dikendalikan. Di dalam tidur, Id terjelma kembali hanya sebagian berwujud mimpi.” (Suroso, 2009:41-42).
            Dengan kata lain, Id adalah struktur paling mendasar dari kepribadian, seluruhnya tidak disadari dan bekerja menurut prinsip kesenangan, tujuannya adalah pemenuhan kepuasan yang segera. Ego berkembang dari Id, struktur kepribadian yang mengontrol kesadaran dan mengambil keputusan atas perilaku manusia. Suroso (2009:42) menjelaskan bahwa Ego adalah kesadaran akan diri sendiri yang merupakan peraturan secara sadar antara Id dan realitas luar. Ego biasanya mengawal dan menekan dorongan Id yang kuat, mengubah sifat Id dari yang abstrak dan gelap ke hal-hal yang berdasarkan pada prinsip kenyataan.
            “Sementara itu, Superego (penuntun moral dan aspirasi seseorang) berfungsi sebagai lapisan yang menolak sesuatu yang melanggar prinsip moral, yang menyebabkan seseorang merasa malu atau memuji sifat sesuatu yang dianggap baik. Jadi, Superego berkembang mengontrol dorongan-dorongan kebutuhan Id, dan berisi nilai-nilai atau evaluatif” (Suroso, 2009:42). Superego, berkembang dari Ego saat manusia mengerti nilai baik buruk dan moral. Superego merefleksikan nilai-nilai sosial dan menyadarkan individu atas tuntutan moral. Apabila terjadi pelanggaran nilai, Superego menghukum Ego dengan menimbulkan rasa salah.
4.    Peranan Mimpi dalam Teori Psikoanalisis Freud
            “Dalam kritik psikoanalisis biasanya disoroti masalah mimpi, halusinasi, ketakutan yang mencemaskan, timbulnya dorongan seksual pada tokoh-tokohnya, kegelisahan, dan konflik-konfilik batin lainnya” (Suroso, 2009:42). Mimpi mempunyai peranan yang penting dalam psikoanalisis Freud. Menurut Freud, mimpi adalah khayalan psikologi orang normal, yang memberikan akses kepada ketidaksadaran. Mimpi mempunyai pengertian atau manfaat dan juga tujuan. Mimpi adalah simbol, yang mempunyai arti dan dapat diinterpretasikan.
            Mimpi yang hadir dalam tidur seseorang bisa merupakan perwujudan dari keinginan (Id) seseorang yang ditekan. Id yang tidak direalisasikan akan tersimpan di dalam pikiran dan lama – lama menjadi sesuatu yang tidak disadari.

C.  Pembahasan
1.    Kepribadian Tokoh Buyung
            Buyung merupakan tokoh utama dalam novel Harimau! Harimau! Dia seorang pemuda yang dikenal baik dan sopan di kampungnya. Dalam kesehariannya, Buyung bertindak wajar seperti pemuda-pemuda lainnya yang tinggal di Desa Air Jernih.
“Sutan, Buyung, Talib, dan Sanip juga termasuk anak muda yang dianggap sopan dan baik di kampung.”
“Mereka orang-orang wajar seperti sebagaian terbesar orang di kampung. Mereka baik dalam pergaulan, pergi sembahyang ke mesjid, duduk mengobrol di kedai kopi seperti orang lain, mereka ikut bekerja bersama-sama ketika ada orang membangun rumah, memperbaiki jalan-jalan, Bandar atau pun menyelenggarakan perhelatan….” (Lubis, 2004: 6).

         Buyung dibesarkan secara Islamiah, sebagai seorang yang menganut agama Islam ia mengenal shalat, mengaji dan berusaha menjauhkan diri pada perbuatan dosa. Bahkan dalam kutipan di atas dijelaskan bahwa Buyung juga pergi ke masjid untuk bersembahyang. Usaha Buyung untuk menghindari dirinya dari perbuatan dosa ada pada kutipan di bawah ini.
“Aduh aku lupa memeriksa perangkap kancil,” katanya kepada Sutan yang berjalan di depannya.
“Siapa tahu barangkali ada isinya pagi ini.”
“Mengapa engkau tak kembali memeriksanya?” Kata Sutan. “Sayang bukan.”
“Tetapi kita telah jauh.”
“Mana jauh, baru jalan setengah jam. Tinggalkan saja keranjangmu di pinggir jalan, tak aka nada orang yang mencurinya. Demikian engkau akan dapat berjalan lebih cepat. Susul kami nanti di tempat bermalam.”
“Ah, biarlah,” kata Buyung, masih ragu-ragu.
“Tetapi kalau ada isinya, kancilnya bisa mati kelaparan,” kata Talib. “Berdosa engkau.”
Buyung tampak ragu. Ucapan Talib menyebabkan dia mengambil keputusan untuk kembali.
“Baiklah, aku kembali memeriksa perangkap,” katanya, “kalian terus saja. Nanti aku susul.” (Lubis, 2004: 58).

            Begitu diingatkan Talib akan dosa, Buyung berusaha sebisa mungkin untuk menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Ia bersedia kembali untuk memeriksa perangkap kancil yang lupa diperiksanya saat akan melanjutkan perjalanan pulang. Ia takut berdosa menyiksa kancil yang mungkin akan mati kelaparan jika tidak ia selamatkan dari perangkapnya.
Walaupun demikian, Buyung masih mempercayai takhayul karena ia tinggal di desa terpencil yang kuat kepercayaannya pada sesuatu yang bersifat takhayul. Dia percaya pada ilmu sihir, dan jimat-jimat Wak Katok. Buyung juga menjadi murid ilmu sihir Wak Katok.
            “……dan Buyung, yang termuda diantara mereka, baru berumur sembilan belas tahun. Anak-anak muda itu semuanya murid pencak Wak Katok. Mereka juga belajar ilmu sihir dan gaib padanya” (Lubis, 2004: 4).
Buyung dan kawan-kaeannya selalu bermimpi akan diberi pelajaran oleh Wak Katok ilmu sihir yang dahsyat. Dia terutama sekali ingin dapat belajar mantera pemikat hati gadis…. (Lubis, 2004: 10)
Buyung dan kawan-kawannya juga amat ingin mendapat ilmu menghilanh. Dia telah bermimpi tentang hal-hal yang dapat dilakukannya…. (Lubis, 2004: 11).
                                        
            Namun pada perkembangannya, Buyung tahu bahwa ilmu-ilmu Wak Katok palsu dan ia tidak percaya lagi.
“Jimat-jimatmu palsu, mantera-manteramu palsu. Inilah jimat-jimat yang dipakai juga oleh Pak Balam, oleh Talib, oleh Sutan, lihatlah, dimana mereka kini, mereka mempercayai engkau…mereka telah mati, telah binasa…. Wak Katok diam saja.” Buyung – kepada Wak Katok (Lubis, 2004: 192).
                             
Buyung merasa paling kecil di antara rombongan pencari damar lainnya. Hal ini menyebabkan Buyung tidak cukup percaya diri. Terutama masalah cinta, ia tidak berani mengungkapkan cintanya kepada gadis pujaan hatinya, Zaitun.
Dia terutama sekali ingin dapat belajar mantera pemikat hati gadis.  Telah jatuh cinta benar kepada si Zaitun, anak Wak Hamdan, akan tetapi sang gadis seakan acuh tak acuh saja (Lubis, 2004: 10).
Bagaimana hendak memikat hati gadis yang demikian, kalau tidak dengan mantera Wak Katok? Buyung bersedia melakukan apa saja, asal Wak Katok mengajarkan mantera yang diperlukan (Lubis, 2004: 12).
                 
Sikap Buyung yang tidak percaya diri dan takut ditolak cintanya oleh Zaitun mendorong Buyung untuk meminta mantera kepada Wak Katok agar Buyung dapat menggunakannya untuk memikat hati Zaitun tanpa takut cintanya ditolak. Namun pada perkembangan psikologinya, tokoh Buyung mempunyai keberanian dan hendak mengungkapkan cintanya kepada Zaitun tanpa menggunakan mantera dan jimat dari Wak Katok.“… aku akan kawin dengan Zaitun, karena dia cinta padaku, dan bukan karena mantera dan jimat.” (Lubis, 2004: 202).
Selain tidak percaya diri akan cintanya, pada awal penceritaan Buyung juga tidak memiliki rasa percaya diri pada kemampuan yang dimilikinya. Ia menganggap bahwa orang lain lebih unggul darinya.
Dalam hati Buyung amat ingin lekas menjadi dewasa dan lelaki yang matang, seperti kawan-kawannya yang lain. Umpamanya Sutan yang lebih pandai bersilat dari dia, meskipun mereka sama-sama murid Wak Katok, yang telah menikah dan amat pandainya bergaul dengan perempuan, tua atau muda, dan pandai pula bekerja mencari uang. Sanip pandai bermain dangung-dangung. Dia ingin semudah Sanip menyanyi dan menari dan bercerita. (Lubis, 2004:15-16)
                                                                             
Sikap Buyung yang tidak percaya diri membawa Buyung untuk selalu taat dan patuh pada apa yang diperintahkan oleh orang lain. Dalam memimpin perburuan ia juga menyerahkan pada Wak Katok. Padahal Buyung sebenarnya lebih pintar berburu dibandingkan dengan Wak Katok. Namun dalam perkembangannya, tokoh Buyung menjadi pribadi yang memiliki rasa percaya diri. Ia percaya pada kemampuan yang dimilikinya. Ia lalu memimpin perburuan menggantikan Wak Katok.
“Ikat dia baik-baik!” kata Buyung. Dengan sendirinya, Buyung kini yang mengambil pimpinan antara mereka berdua. Sedang Sanip mengikat Wak Katok, Buyung memadamkan api-api unggun lain yang telah dipasang Wak Katok (Lubis, 2004: 200).
Harimau itu memperhatikan tempat yang agak terbuka dihadapannya dan kemudian dia menegangkan tubuhnya…. Harimau itu merendahkan badannya, siap hendak melompat. Buyung membidik hati-hati. Membidikkan senapan tepat di tengah antara kedua mata harimau. dengan gembira ia melihat tangannya tidak gemetar. Sepanjang hari hatinya selalu bertanya-tanya, dan dia merasa khawatir, apakah dia tidak akan ketakutan dan tak kuasa membidik, tangannya dan seluruh badannya akan gemetar jika melihat harimau. Akan tetapi kini dia merasa seluruh badannya dan pikirannya tenang. Dia tahu apa yang dilakukannya, dia menginsyafi bahaya besar yang mereka hadapi, dia yakin pada dirinya sendiri (Lubis, 2004: 208-209).

Sebagai seorang remaja yang beranjak dewasa Buyung masih labil dalam mengambil keputusan. Ia tidak tegas dalam menyikapi suatu masalah.
Saat-saat yang menyuruh orang melakukan pilihan atau mengambil keputusan, pilihan yang mungkin membawanya ke puncak kebahagiaan, atau juga ke dasar ngarai gelap kenistaas. Atau yang membawa kesyukuran atau kesesalan seumur hidup. Saat serupa itulah yang tiba akan tetapi berlaku kembali antara Buyung dan Siti Rubiyah (Lubis, 2004: 55)

Begitu bingungnya Buyung dalam mengambil keputusan, tetapi setelah Buyung mengalami suatu pengalaman dalam perjalanannya pulang ia mulai bisa mengambil keputusan. Ia bermaksud mengambil keputusan untuk melupakan Siti Rubiyah dan akan memilih Zaitun.
Dia tahu benar kini, mereka esok akan pulang ke kampung, dan tahu, dia tak akan kembali memenuhi janjinya pada Siti Rubiyah. Apa yang terjadi antara Siti Rubiyah dengan dia adalah sebagai air sungai yang telah mengalir jauh di belakang, telah tertutup, telah habis, dia kini tahu bahwa hidup manusia tak semudah yang disangka (Lubis, 2004: 211).

Buyung sebagai seorang pemuda yang sudah berusia sembilan belas tahun, juga pandai bekerja mencari nafkah. Hal ini dapat dilihat dari perbincangan antara orang tua Buyung.
“Si Buyung pun sudah besar. Sudah Sembilan belas tahun umurnya. Dan dia pun sudah pandai bekerja,” kata ayahnya.
Sedang Buyung menganggap dirinya telah dewasa. Dia telah berumur Sembilan belas tahun, dia telah tamat sekolah rakyat, dia telah tamat Qur’an sampai dua kali, dan dia pun pandai mencari nafkah sendiri (Lubis, 2004: 12-13).

Kepandaian Buyung dalam mencari nafkah didukung oleh kepandaiannya berburu. Ia mahir menggunakan senapan untuk membidik hewan buruannya. Kepandaiannya dalam berburu mendapatkan pujian dari guru Buyung yaitu Wak Katok. Nama Buyung pun mulai dikenal sebagai pemuda yang pandai berburu di kampungnya.
….Buyung bangga benar dengan kepandaiannya menembakkan senapan lantak. Jarang benar ia melesat. Hampir selalu kena sasarannya.
Dia pernah membidik seekor babi yang sedang lari, yang dibidiknya tepat di belakang kupingnya, dan disanalah peluru mengenai sang babi. Wak Katok sendiri pernah memujinya, ketika dalam berburu babi ramai-ramai dengan orang kampung, pelurunya menembus mata kiri seekor babi yang datang menyerang. Wak Katok dalam kemarahan hatinya ketika itu mengatakan, bahwa dia sendiri pun tak dapat memperbaiki tembakan Buyung. Sungguh sebuah pujian besar datang dari Wak Katok. Buyung merasa amat bangga dan namanya sebagai penembak yang mahir mulai termasyur di kampung.
Pujian dari Wak Katok sebagai pemburu yang termahir dan penembak yang terpandai di seluruh kampung, merupakan semacam pengangkatan resmi juga untuk Buyung….. (Lubis, 2004: 8-9)

Walau pandai berburu, tetapi Buyung masih mempunyai rasa belas kasih kepada orang lain. Bahkan kepada orang yang baru saja ia kenal. Buyung tidak mempunyai keraguan untuk menolong orang lain. Bahkan ia merasa bangga jika bisa menolong.
“Apa, apa?” tanya Buyung, penuh rasa ingin tahu, dan hasrat hendak menolong.
Malu aku sebenarnya mengatakannya, akan tetapi kepada siapa kini tempat aku mengadu, jika bukan kepada kakak yang begitu baik hati padaku?” katanya kemudian, dan memandang kepada Buyung dengan matanya penuh rasa percaya dan minta bantuan, yang membuat Buyung melupakan umurnya yang muda, dan dia merasa dirinya seorang lelaki yang dewasa dan gagah perkasa, dan yang sanggup membela dan melindungi perempuan muda yang tak berdosa, yang lemah dan yang sedang dalam kesusahan ini.
“Katakanlah.” desak Buyung, “akan aku tolong engkau.” (Lubis, 2004: 64-65)
                                                 
Buyung jika menolong orang tidak didasari oleh pamrih. Ia selalu ikhlas menolong siapapun yang membutuhkan pertolongan. Seperti halnya ia menolong Pak Haji Rakhmad.
…dan ketika dia melihat ke wajah Pak Haji… Buyung melompat amat cepat mendekati Pak Haji… parang panjangnya dihayunkannya, Pak Haji terdorong kepinggir terkejut… nah, kena dia!! Buyung berseru gembira… badan Pak Haji pucat ketika melihat badan dan kepala ular hijau yang kini bergerak-gerak jatuh di tanah yang lembab. Ular yang amat berbisa. Dia hampir saja dipatuk oleh ular yang berbisa itu yang turun dari pohon ketika ia lewat. Untuglah Buyung memalingkan mukanya hendak melihat wajah Pak Haji.
“Terima kasih, Buyung. Engkau telah menyelamatkan jiwaku,” kata Pak Haji.
“Terima kasih, Buyung. Engkau bersedia membahayakan jiwamu untuk menolong aku?”
“Tentu aku bersedia menolong Pak Haji, siapa saja yang dalam bahaya,” katanya dengan sederhana. “dan tak ada bahayanya bagiku,” tambahnya kemudian.
“Ada juga orang yang serupa ini, yang bersedia menolong orang lain, tanpa memikirkan bahaya untuk dirinya sendiri. Dan tak pula ia mengharapkan balas jasa.” batin Pak Haji (Lubis, 2004: 179-180).
                                                                                             
Rasa belas kasih Buyung juga ia tunjukkan kepada keluarganya. Ia hendak memberikan ibunya uang. Buyung juga mempunyai rasa perhatian kepada ibunya. Ia bahkan tahu warna kesukaan ibunya. Padahal itu suatu hal yang sepele.
Oh, dia akan membelikan sebuah kain sembahyang yang baru untuk ibunya. Ibunya akan senang benar dengan kain sembahyang baru nanti, sebuah kain pelekat berwarna merah tua. Itulah warna yang disenangi ibunya. Kemudian apa lagi?
Oh, dia akan memberi ibunya uang untuk membantu belanja di rumah. Sejak ia pandai menyimpan uang, selalu dia memberi uang pada ibunya, meskipun ibunya mengatakan, bahwa dia tak perlu memberikan uang, kata ibunya kepada Buyung (Lubis, 2004: 59).
           
Selain pada keluarganya, Buyung juga peduli dan mempunyai rasa tanggung jawab terhadap warga kampung tempat ia tinggal. Ia takut jika bahaya yang sedang ia hadapi sekarang juga akan menyerang warga kampungnya, sehingga Buyung bersedia memerangi bahaya yang ada di depan matanya sebelum bahaya itu sampai ke kampung kelahirannya dan merugikan banyak orang.
“dan jika tak kita buru kini, maka harimau akan datang ke kampung menyerang ternak. Akan habis lembu dan kambing, dan siapa tahu orang kampung pun akan jadi korbannya.
“Tetapi tidaklah itu menjadi urusan orang sekampung nanti?” kata Pak Haji, “mengapa kita saja yang memikul tugas membunuhnya?”
“Tak sampai kesana pikiranku,” kata Buyung, “menurut rasa hatiku, di mana kita bertemu dengan yang jahat, dan hendak merusak kita, atau merusak orang lain, merusak orang banyak, maka kita yang paling dekat wajib melawannya. Masa harus kita tunggu dulu diri kita yang kena bala, maka baru kita bangkit melawannya? Masa kita berdiam diri selama diri kita yang tak kena?” (Lubis, 2004: 181-182).

2.    Perkembangan Kepribadian Tokoh Buyung
            Sebagai seorang pemuda yang beranjak dewasa, Buyung mempunyai ketertarikan terhadap lawan jenis. Dia jatuh cinta kepada Zaitun, bunga desa yang tak hanya cantik tetapi juga pintar mengaji dan menjahit. Bagi Buyung, Zaitun merupakan potret gadis desa yang sempurna. Keinginan terbesar Buyung (Id) adalah memiliki Zaitun seutuhnya, baik jiwa maupun raga. Hal ini terlihat pada pikiran Buyung:
“Buyung merasa, bahwa jika Zaitun tak merasa seperti yang dirasakannya, maka rasanya tak puas hatinya akan kawin dengan Zaitun, meskipun kedua orang tua mereka menyetujui perkawinan itu. Buyung tahu, bahwa biasanya orang kawin menurut pilihan yang dilakukan orang tua saja, akan tetapi dia sendiri ingin memilih isteri, dan isterinya memilih dia pula.” (Lubis, 2008: 14).

          Pada kutipan di atas dapat ditarik simpulan bahwa Buyung benar-benar memiliki keinginan untuk menjalin hubungan yang serius dengan Zaitun. Hubungan tersebut bukan hanya hubungan sebatas pacar, melainkan hubungan pernikahan yang didasari oleh cinta dan kasih sayang antara keduanya.
          Usia sembilan belas tahun merupakan usia yang cukup dewasa bagi seorang laki-laki untuk dapat mandiri, tidak bergantung kepada kedua orang tua. Pada usia ini, seorang laki-laki juga ingin mendapatkan kasih sayang selain dari ibu. Begitu pula dengan tokoh Buyung. Dia menginginkan dicintai dan disayangi oleh Zaitun. Selain itu, Buyung ingin merasa dibutuhkan oleh perempuan yang dicintainya. “Kadang-kadang serasa hilang akal Buyung memikirkan bagaimana dapat membuat Zaitun jatuh cinta padanya, supaya Zaitun setiap saat ingat padanya, rindu padanya,…” (Lubis, 2008:14).
                        Kutipan di atas menyiratkan betapa cintanya Buyung pada Zaitun. Namun, Buyung merasa pesimis akan kemungkinan terwujudnya keinginannya tersebut (Id). Ia tidak dapat menafsirkan sikap Zaitun yang terkadang manis dan terkadang acuh tak acuh terhadap Buyung.
“Kadang-kadang Zaitun tersenyum amat manis sekali kepadanya, jika mereka bertemu di jalan yang menuju pancuran. dan mata Zaitun akan mencari matanya, dan memancarkan cahaya yang penuh arti. Akan tetapi kadang-kadang, jika melihat Buyung dari jauh hendak berpapasan dengan dia, maka dari jauh-jauh dia telah membuang mukanya, pura-pura asyik bercakap-cakap dengan kawan-kawannya, dan seakan taktahu bahwa Buyung lewat dekatnya.” (Lubis, 2008:10).
                                                                          
Dalam mewujudkan keinginannya itu, Buyung yang sudah merasa pesimis kemudian meminta tolong kepada Wak Katok, seorang dukun, agar memberinya ilmu pemikat hati gadis. “Dia terutama sekali ingin dapat belajar mantera pemikat hati gadis. Dia telah jatuh cinta benar pada si Zaitun, anak Wak Hamdani, Pak Lebai di kampung, akan tetapi sang gadis acuh tak acuh saja.” (Lubis, 2008:10). Usaha untuk merealisasikan Id-nya ini tidak membuahkan hasil karena Wak Katok tidak bersedia memberikan ilmunya kepada Buyung yang masih terlalu muda.
Buyung yang sedari awal sudah merasa pesimis, kini menjadi putus asa. Keputusasaannya itu mendorong Ego-nya untuk tidak mengungkapkan perasaan cintanya kepada Zaitun secara langsung, tetapi justru menyimpan perasaannya itu.
Bagaimanapun usahanya untuk menyimpan perasaannya kepada seorang yang sangat ia cintai, ia tidak mampu mengelak dari hasratnya sebagai seorang pemuda yang beranjak dewasa untuk mencintai dan merasa dibutuhkan oleh seorang perempuan. Hal ini terbukti pada saat istri muda Wak Katok, Siti Rubiyah yang sering mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya, membutuhkan pertolongan dan perlindungannya.
“Akan tetapi melihat Siti Rubiyah duduk mencangkung demikian di depannya, dan menundukkan kepala ke tanah, tak sampai hatinya untuk mengaku kalah, dan tak berbuat apa – apa. Dijangkaukannya tangannya memegang bahu Siti Rubiyah, dan Siti Rubiyah merebahkan kepalanya ke pangkuan Buyung, dan Buyung menghapus – hapus kening Siti Rubiyah, dan berkata:
“Diamlah, diamlah Rubiyah, jangan engkau menangis. Tenanglah.” Kembali rasa lelakinya timbul mengalir kuat bersama darahnya, ketika Siti Rubiyah memegang tangannya, dan kemudian memeluk pinggangnya dan menyembunyikan kepalanya ke perut Buyung sambil berkata:
“Lindungi aku, Kak. Tak ada orang yang mau menolong aku, selain Kakak. Kepada siapa aku akan meminta tolong kini?” (Lubis, 2008:67).


            Rasa empati Buyung kepada Siti Rubiyah tercermin pada tindakan Buyung di atas. Buyung berusaha memberikan perlindungan dan rasa aman kepada Siti Rubiyah yang memang membutuhkan perlindungan dari seorang laki – laki. Sikap Rubiyah yang demikian ini menjadikan Buyung merasa sebagai seorang laki – laki dewasa yang dibutuhkan. Perasaan inilah yang selama ini ia inginkan dan tidak ia dapatkan dari Zaitun, gadis pujaan hatinya.
            Rasa empati Buyung kepada Siti Rubiyah menjerumuskan mereka mengaktualisasikan bentuk kasih sayang yang salah. Buyung yang pada dasarnya merupakan pemuda baik – baik dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang agamis pada akhirnya melakukan bentuk kasih sayang yang melanggar agama.
                        Tindakan Buyung terhadap Siti Rubiyah tersebut pada dasarnya adalah Ego yang merupakan perwujudan dari Id-nya (keinginan untuk mendapatkan cinta Zaitun) yang ia simpan atau tekan.
                        Pada dasarnya, Buyung mempunyai keinginan (Id) yang baik. Namun, Buyung mengambil tindakan yang salah dalam mewujudkan Id-nya. Ego-nya yaitu 1) berusaha memikat Zaitun dengan guna-guna dan 2) menyimpan perasaan cintanya kepada Zaitun yang justru dimanifestasikan dalam bentuk tindakan cinta yang salah itu tidak sesuai dengan Superego-nya. Hati nurani dan agama yang dianut Buyung yang merupakan  Superego-nya menuntun dia untuk merenungkan hal-hal yang telah dilakukannya. “Meskipun mereka memicingkan mata, akan tetapi pikirannya tak berhenti. Ketukan Pak Balam terhadap hati nurani mereka masih berkumandang juga di dalam relung hati dan pikiran, bergema ke bawah sadar.” (Lubis, 2008:113). Kutipan tersebut mengisyaratkan bahwa Buyung memikirkan semua tindakan yang sebenarnya tidak pantas ia lakukan. Hal ini juga terlihat pada pikiran Buyung: “Bukankah Siti Rubiyah istri orang lain?” (Lubis, 2008: 74).
            Dalam diri Buyung timbul pula ketakutan akan dosa-dosa yang telah ia lakukan seperti terlihat pada: “Tiba-tiba Buyung teringat pada dosa-dosanya sendiri, dan pikirannya bertambah kacau…. Maka lalu ia tak dapat lagi damai dengan dosa-dosanya,…” (Lubis, 2008: 159). Konflik batin yang dialami tokoh Buyung secara tidak langsung telah menghukum jiwanya. Hukuman ini berasal dari hati nuraninya sendiri dan kesadaran akan pengetahuan agama yang Buyung peroleh sejak kecil. Di sinilah peran penting Superego dibutuhkan dalam mengarahkan pikiran sadar manusia untuk menjadi pribadi yang baik.
            Konflik batin Buyung yang berkepanjangan bermuara pada sebuah refleksi diri yang menuntunnya menemukan jati dirinya sebagai seorang pemuda dewasa. Pada akhirnya, dia menyadari kesalahan yang diperbuatnya dan menyesali dosa–dosanya. Ia menyesal telah berusaha memikat hati Zaitun dengan guna-guna. Hal ini terlihat pada ungkapan penolakan Buyung terhadap Wak Katok yang akan membuatkan mantera pemikat gadis: “aku akan kawin dengan Zaitun, karena dia mencintaiku, dan bukan karena mantera dan jimat.” (Lubis, 2008:202).
                        Buyung juga mendapatkan pelajaran yang berharga dari Ego memendam perasaan cinta kepada Zaitun. Memendam perasaan cinta justru membawanya kepada masalah baru yang berkaitan dengan Siti Rubiyah, seorang perempuan yang tidak dicintainya. Sebagai seorang pemuda yang sedang mencari identitasnya untuk menjadi laki-laki dewasa, ia ingin berkomitmen kepada perempuan yang benar-benar dicintainya saja.
“Untuk membina kemanusiaan perlulah mencinta, orang sendiri tak dapat hidup sebagai manusia…ya, dia akan mencintai manusia, dia akan mulai mencintai Zaitun… dia akan belajar dan berusaha jadi manusia yang hidup dengan manusia lain… Buyung merasa sesuatu yang segar memasuki dirinya, seakan sebuah beban berat yang selama ini menimpa kepala dan seluruh dirinya telah terangkat. Alangkah enaknya merasa jadi manusia kembali, lepas dari ikatan takhayul, ikatan mantera, dan ikatan jimat yang palsu.” (Lubis, 2008:212).
                                                           
            Uraian di atas menunjukkan bagaimana kepribadian Buyung terbentuk. Buyung yang pada awalnya merupakan pemuda yang masih belum dapat mengambil keputusan, kini telah mampu menentukan pilihan – pilihan hidupnya. Buyung telah memutuskan untuk tidak lagi mempercayai takhayul. Ia juga telah menentukan sikap yang tegas atas perasaan cintanya kepada Zaitun. Ia tidak akan terlalu lama memendam perasaannya. Ia bertekad untuk menikahi Zaitun. Keberanian Buyung untuk menikah tersebut menunjukkan kematangannya dalam berpikir dan bersikap, karena menikah adalah suatu keputusan dewasa yang mengandung banyak konsekuensi.
            Kemampuan dalam menentukan pilihan hidup ini menunjukkan bahwa ia telah berhasil melewati proses pencarian jati diri. Semua ini tidak terlepas dari peranan Id, Ego, dan Superego yang ada pada dirinya.
            Id yang tidak direalisasikan akan tersimpan di dalam pikiran dan lama – lama menjadi sesuatu yang tidak disadari. Keinginan Buyung yang tidak direalisasikan tersimpan di dalam pikiran dan lama-lama menjadi sesuatu yang tidak disadari. Bentuk ketidaksadaran ini diwujudkan dalam mimpi yang dialami oleh Buyung. Zaitun gadis yang dicintainya hadir dalam mimpinya.
“Buyung bermimpi dia rasanya naik perahu hendak menyeberang danau, dan di langit berkumpul awan gelap menandakan badai hendak turun, akan tetapi dia hendak menyeberangi danau juga, dan ketika dia telah agak jauh dari pantai, dia melihat Zaitun datang berlari memanggil-manggilnya. Mimpinya demikian nyata terasa olehnya, hingga ketika ia terbangun dan duduk terkejut, ditelinganya masih terngiang seruan Zaitun menanggilnya pulang: Yuuuuuungngng!” (Lubis, 2008: 79).
                
Keinginan Buyung untuk mendapatkan cinta Zaitun yang tertekan dalam Ego, kemudian tersimpan di dalam pikiran dan menjadi sesuatu yang tak disadari. Keinginan tersebut dimanifestasikan lewat mimpinya. Dalam mimpi tersebut, Buyung yang hendak menyeberangi danau dalam kondisi alam yang tak bersahabat, dipanggil-panggil oleh Zaitun. Sikap Zaitun yang tampak dalam mimpi tersebut menyiratkan bahwa ia menaruh perhatian yang besar terhadap Buyung. Zaitun khawatir akan keselamatan Buyung. Melalui mimpi ini, keinginan Buyung untuk mendapatkan cinta Zaitun terealisasi dalam alam bawah sadarnya.

D.  Simpulan
            Sebagai seorang pemuda yang beranjak dewasa, Buyung mempunyai keinginan menjadi laki-laki dewasa pada umumnya. Dia ingin menjalin hubungan yang serius dengan Zaitun. Namun keingianan (Id) Buyung tersebut terhalang oleh ketidakberaniannya dalam mengambil keputusan. Ketidakberaniannya ini menunjukkan bahwa tokoh Buyung belum memiliki jati diri sebagai laki-laki dewasa. Sikapnya ini mendorong Buyung untuk menekan perasaan cintanya kepada Zaitun, yang justru menimbulkan masalah baru yang berkaitan dengan Siti Rubiyah (Ego). Hati nurani dan agama yang dianut Buyung (Superego) menuntun dia untuk merenungkan hal-hal yang telah dilakukan sehingga ia pada akhirnya menemukan jati diri sebagai seorang laki-laki dewasa. Ia menyadari bahwa cinta yang sejati tidak datang karena guna-guna, tetapi muncul dengan sendirinya. Ia tidak lagi percaya pada takhayul. Ia juga telah menentukan sikap yang tegas atas perasaan cintanya kepada Zaitun. Ia bertekad untuk menikahi Zaitun. Keberanian Buyung untuk menikah tersebut menunjukkan kematangannya dalam berpikir dan bersikap.
            Kemampuan dalam menentukan pilihan hidup ini menunjukkan bahwa Buyung telah berhasil melewati proses pencarian jati diri yang tidak terlepas dari peranan Id, Ego, dan Superego yang ada pada dirinya. Dalam tokoh Buyung, Id-nya lah yang lebih dominan. Walaupun Id-nya hanya sebentuk angan yang ditekan saja, tanpa realisasi, tetapi keinginannya untuk mendapatkan cinta Zaitun ini sangat kuat.   Ego untuk mewujudkan Id tidak terlalu dominan karena adanya penekanan terhadap Id tersebut. Demikian pula dengan Superego Buyung. Peran Superego di awal kepribadian tidak terlalu menonjol sehingga Buyung melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan agama dan norma masyarakat.
            Disadari atau tidak, setiap orang memiliki Id, Ego, dan Superego. Ketiganya memberikan kontribusi dalam pembentukan kepribadian seseorang. Baik atau buruk kepribadian yang terbentuk ditentukan oleh bagian kepribadian mana antara Id, Ego, dan Superego yang lebih menonjol.
                

Daftar Pustaka

Dakir. 1993. Dasar-Dasar Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lubis, Mochtar. 2008. Harimau! Harimau!. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sayuti, A Suminto. Berkenalan dengan Prosa Fiksi.
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Suroso. 2009. Kritik Sastra. Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Fiksi. Yogyakarta: Pustaka.
http://harulhudabk.blogspot.com/2012/04/